Letusan Tambora Dalam BO Kerajaan Bima

Posted by Farah PinkQueenzza 01.36, under | No comments

Dalam sejarah Bima, letusan Tambora terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid yang bergelar Mantau Asi Saninu ( yang memiliki Istana Cermin ) yang memerintah pada tahun 1762 – 1819 M). sedangkan Ruma Bicara atau perdana menteri saat itu adalah Abdul Nabi. Letusan dahsyat Tambora tercatat dalam BO( Kitab Sejarah Bima) maupun syair dari penyair terkenal Khatib Lukman.
Letusan dahsyat itu dilukiskan secara lengkap mengenai kerugian dan penderitaan yang dialami masyarakat di kesultanan Bima maupun di wilayah Tambora dan sekitarnya serta di pulau sumbawa. Dalam kitab Bo dilukiskan antara lain “ manusia banyak yang mati, bahkan dua kerajaan yang letaknya berdekatan dengan gunung Tambora menjadi hancur dan lenyap, yaitu kerajaan Pekat dan Tambora. Tanah pertanian hancur karena ditutupi lahar dan batu. Hewan dan tumbuh-tumbuhan mati dan musnah. Rakyat mengalami kelaparan dan kemiskinan, wabah penyakit menjalar kemana-mana. “
Cobaan lain yang dialami masyarakat Bima ketika itu adalah musim kemaru panjang, bajak laut dan perompak meraja lela. Masa-masa itu adalah masa yang teramat sulit dialami oleh kesultanan Bima, diperparah pula dengan monopoli yang dilakukan oleh penjajah Inggris maupun Belanda.
Baik khatib Lukman, Zollinger dan Reinward sama-sama sepakat bahwa kerugian harta benda serta jiwa manusia banyak yang terenggut akibat letusan Tambora. Tiga penulis itu sama-sama sependapat bahwa hampir setengah dari penduduk Bima menemui ajalnya ketika itu akibat letusan Tambora.
Akibat Letusan
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815 Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan.

Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.[ Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau Lombok Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa. Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak. Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah erupsi. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.
READ MORE - Letusan Tambora Dalam BO Kerajaan Bima

Upacara Compo Sampari Dan Compo Baju

Posted by Farah PinkQueenzza 09.45, under | No comments

Upacara compo Sampari atau pemasangan keris( memakaikan keris) kepada anak laki – laki yang akan di Suna Ro Ndoso. Dilakukan oleh seorang tokoh adat, diawali dengan pembacaan do’a disusul dengan membaca shalawat Nabi. Upacara ini digelar sebagai peringatan bahwa  sebagai anak laki – laki harus memiliki kekuatan dan keberanian yang dilambangkan dengan sampari ( keris).


Sedangkan Upacara compo baju yaitu upacara pemasangan baju kepada anak perempuan yang akan di saraso ro ndoso. Baju yang akan dipasang sebanyak 7 lembar baju poro(Baju pendek) yang dilakukan secara bergilir oleh para tokoh adat dari kaum ibu. Makna compo baju adalah merupakan peringatan bagi anak, kalau sudah di saraso berarti sudah dewasa. Sebab itu harus menutup aurat dengan rapi. Tujuh lembar baju  adalah tujuh simbol tahapan kehidupan yang dijalani manusia yaitu masa dalam kandungan, masa bayi, masa kanak – kanak, masa dewasa, masa tua, alam kubur dan alam baqa(akherat).
Setelah semua upacara adat selesai dilaksanakan, maka akan dilaksanakan acara inti, yaitu acara khitanan. Bagi anak laki – laki dilaksanakan sore hari, dihadiri oleh pejabat sara hukum ( Gelara dan Lebe= Gelarang dan Penghulu), para ulama, tokoh adat dan para sanak keluarga, dikhitan oleh “Guru Suna” (Guru Sunat) yaitu seorang tokoh adat yang ahli sunat. Seiring kemajuan tekhnologi, khitan dilakukan oleh petugas kesehatan atau dokter.
Saraso ( khitan) anak perempuan, akan dilaksanakan pagi hari dihadiri oleh para tokoh adat perempuabn bersama sanak saudara. Khitanan anak perempuan dilakukan oleh isteri lebe(Lebai) dan istri Galara ( Gelarang). Acara khitanan diiringi dengan irama musik genda (gendang) yang bertalu – talu untuk menambah semangat dan keberanian anak yang dikhitan. Setelah disunat, khusus bagi anak laki – lai harus melakukan atraksi Maka” yaitu meloncat – loncat dengan keris di tangan kanan, sambil mengucapkan ikrar siap sedia mengorbankan jiwa raga demi Rakyat, Negeri dan Agama yang dicintai. Diiringgi irama gendang yang bertalu – talu.
READ MORE - Upacara Compo Sampari Dan Compo Baju

Masuknya Islam di Tanah Bima

Posted by Farah PinkQueenzza 09.41, under | No comments

Keadaan alam Bima memang sangat strategis bagi perkembangan politik agama dan perdagangan. Wilayah bagian  utara berbatasan langsung dengan laut flores , sebagai urat nadi perniagaan Nusantara sejak abad 14 M. Terletak di tengah rangkaian kepulauan nusantara dan memiliki pelabuhan alam yang terlindung dari serangan gelombang dan angin musim barat. Hasil alamnya cukup beragam dan menjadi bahan ekspor yang sangat laris pada zamannya. Inilah yang merupakan salah satu sebab bima bisa tampil sebagai negara maritim tersohor sejak abad 15 sampai pertengahan abad 20 M.

Sebagai negara maritim yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir dari berbagai penjuru negeri, seharusnya Bima lebih awal menerima pengaruh islam. Mengingat abad X M, saudagar-saudagar Islam Arab sudah banyak yang berkunjung ke Maluku (Ternate dan Tidore ) untuk membeli rempah-rempah. Tetapi dalam kenyataanya, berdasarkan berbagai sumber tertulis yang untuk sementara dapat dijadikan pegangan, masyarakat pesisir Bima baru mengenal islam sekitar pertengahan abad XVI M, yang dibawa oleh para Mubaliq dan pedagang dari kesultanan Demak, kemudian dilanjutkan oleh mubaliq dan pedagang kesultanan Ternate, pada akhir abad XVI M.
Menurut Sejarahwan M. Hilir Ismail, tahun 1540 M merupakan tonggak awal kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 – 1621, periode pertumbuhan islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan islam pada tahun 1640 – 1950 M. pada tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima.
Berdasarkan kajian dan penelitian itulah, ditetapkanl  dua tahap masuknya islam di tanah Bima. Hal itu didasarkan pada keterangan dari catatan lokal yang dimiliki,  ternyata tahap awal kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan Ternate sangat besar. Para mubaliq dan pedagang dari dua negeri tersebut silih berganti menyiarkan Islam di Dana Mbojo. Selain itu para pedagang Bima pun memiliki andil dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis kedatangan Islam di Bima yaitu tahap pertama dari Demak dan kedua dari Ternate.
Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para  pedagang Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam.
Keterangan Tome Pires juga diperkuat Panambo Lombok, DR. E Urtrech, SH mengatakan bahwa “ pengislaman di pulau Lombok terjadi pada masa pemerintahan sunan prapen putera Sunan Giri  yang pernah menundukkan Sumbawa dan Bima. “ Saya sepakat dengan M. Hilir bahwa kata “ Menundukkan “ dalam keterangan Panambo Lombok itu tidaklah tepat, karena proses islamisasi di tanah air secara umum tidak dilakukan dengan jalan kekerasan melainkan dengan misi damai, dakwah dan perdagangan serta perkawinan silang. Kata menundukkan itu sebenanrnya lebih mengarah pada kesadaran masyarakat untuk memeluk Islam.  Disamping itu, jika terjadi penundukkan berarti raja Bima saat itu sudah memeluk Islam dan diikuti oleh rakyatnya. Tapi pada kenyataannya Islam baru secara resmi menjadi agama kerajaan pada tahun  1640 M.
Tahap kedua, Islam masuk di Bima melalui Ternate. Dari catatan Raja-Raja Ternate, dapat diketahui betapa gigihnya sultan Ternate bersama rakyatnya, dalam menegakkan nur islam di wilayah timur nusantara. Pada masa sultan Khairun, sultan Ternate ketiga (1536-1570), telah dibentuk aliansi Aceh-Demak-Ternate. Dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokatul  Molukiyah yang diperluas istilahnya menjadi Khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerja sama antara tiga negara islam itu dalam penyebaran pengaruh Islam di wilayah Nusantara.
Pada masa sultan Baabullah(tahun 1570-1583), usaha penyiaran  Islam semakin ditingkatkan dan pada masa inilah, para Mubaliq dan pedagang Ternate meningkatkan kegiatan dakwah di Bima.  Hal itu terus berlanjut sesuai keterangan BO Istana, bahwa para Mubaliq dari Sulawesi Selatan  yang dikirim oleh Sultan Alauddin Gowa tiba di Sape pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1618, tiga belas tahun setelah Raja Gowa dan Tallo memeluk Agama Islam, bahkan lima belas tahun setelah Raja Luwu memeluk Agama Islam.
Para mubaliq dari Tallo, Luwu, dan Bone tiba di Bima pada saat  situasi politik dan keamanan sangat tidak menguntungkan. Pada saat itu sedang terjadi konflik politik yang berkepanjangan, akibat tindakan dari Salisi salah seorang putera Raja Ma Wa’a Ndapa, yang berambisi untuk menjadi raja. Intrik dan rekayasa politik dijalankan oleh Salisi.  Ia membunuh keponakannya yaitu putera Raja Samara yang telah dilantik menjadi Putera Mahkota. Keponakannya itu dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera, yang merupakan areal perburuan bagi raja dan keluarga Istana. Sehingga putera Mahkota itu dikenal dengan nama Ruma Mambora Di Mpori Wera. (Tuanku yang wafat di padang rumput Wera).
Suasana seperti itu tidaklah menyurutkan tekad dan semangat para mubaliq untuk menyiarkan islam di Bima. Mereka terus berupaya untuk menemui Putera Mahkota La Ka’I dalam pelariannya di dusun Kamina. Sebuah dusun di hutan belantara yang berada di puncak gunung La Mbitu di sebelah tenggara Bima.
Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1621 M, Putera Mahkota La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera mahkota La Ka’I berganti nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La Ka’I Bumi Jara Mbojo bernganti nama menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese berganti nama menjadi Sirajuddin.
Pada tanggal 5 Juli 1640 M, Putera Mahkota Abdul Kahir dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama setelah melewati perjuangan panjang merebut tahta kerajaan dari pamannya salisi. Hal itu  yang menandai beralihnya sistim pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Sejak saat itu, Islam bersinar terang di Bumi Bima dan masa –masa selanjutnya menjadi kesultanan tersohor di Nusantara Timur.
READ MORE - Masuknya Islam di Tanah Bima

Surat Sultan M. Salahuddin Kepada Sultan Sumbawa

Posted by Farah PinkQueenzza 09.31, under | 1 comment

Bima, 14 Desember 1949

Dipermaklumkan kepada anakda serta keluarga bahwa kami seisi Istana adalah dalam keadaan sehat wal’afiat adanya, semoga tuhan melimpahkan rahmat selamat seterusnya ke hadapan anakda beserta keluarga hendaknya.



Selanjutnya ayahanda ma’lum kehadapan ananda, ayahanda telah menerima surat – kawat dines tanggal 12, 12, 1949 dari Sumbawa (daerah), dimana dinyatakan bahwa dengan presiden  NIT tanggal 26/11-49 No. 1604-prb/49 maka mulai satu oktober 1948 dibebani dengan pelaksanan Djawatan Comisaris Negara Selatan di Singaraja p. Tuan Mr.A. Verhoof, presiden yang dperbantukan pada Comisaris Negara Selatan di Singaraja.
Bagi ayahanda merasa kecewa, apakah sebabnya diangkat seorang dari Bangsa Belanda yang memangku jabatan tersebut, sedang d idalam sidang atau Comperensi Kepala – Kepala daerah dalam bulan Agustus 1949 di Makassar telah disetujui bersama, bahwa yang diangkat menjabat Comisaris Negara itu, haruslah seorang bangsawan Indonesia yang cakap dalam menjalankan jabatan tersebut.
Dalam hal ini, ayahanda meminta dengan hormat, kiranyi ananda dapat diperoleh penjelasan atau keterangan atas keangkatan seorang Belanda ini untuk menjabat Comisaris Negara.
Pendirian ayahanda tetap bahwa yang diangkat menjabat pangkat Comisaris Negara itu haruslah berbangsa Indonesia, karena hal itu tjoktjok dan sesuai dengan perasaan jiwa nasional kita.

Wassalam dari Ayahanda
Beserta keluarga
Seri Sultan Bima

Ttd

M. Salahuddin
READ MORE - Surat Sultan M. Salahuddin Kepada Sultan Sumbawa

Uma Lengge Mbojo

Posted by Farah PinkQueenzza 09.21, under | No comments


Lengge merupakan salah satu rumah adat tradisional Bima yang dibuat oleh nenek moyang suku Bima(Mbojo) sejak zaman purba. Sejak dulu, bangunan ini tersebar di wilayah Sambori, Wawo dan Donggo. Khusu di Donggo terutama di Padende dan Mbawa terdapat rumah yang disebut Uma Leme. Dinamakan demikian karena rumah tersebut sangat runcing dan lebih runcing dari Lengge. Atapnya mencapai hingga ke dinding rumah. Namun saat ini jumlah Lengge  atau Uma Lengge semakin sedikit. Di kecamatan Lambitu, Lengge dapat ditemukan di desa Sambori yang berjarak sekitar 40 km sebelah tenggara kota Bima. Meskipun ada juga di desa lain seperti di Kuta, Teta, Tarlawi dan Kaboro dalam wilayah kecamatan Lambitu.
Di kecamatan Donggo juga terdapat Lengge. Meskipun memiliki sedikit perbedaan dengan Lengge Sambori maupun Lengge yang ada di Wawo. Secara umum, struktur Uma Lengge berbentuk kerucut setinggi 5- 7 cm, bertiang empat dari bahan kayu, beratap alang-alang yang sekaligus menuturpi tiga perempat bagian rumah sebagai dinding dan memiliki pintu masuk dibawah (Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima Hal 161).
Uma Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, palawija dan umbi-umbian. Pintu masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk para tetangga dan tamu. Menurut Safiun (65 thn) warga Sambori, jika daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama. Hal ini tentunya merupakan sebuah kearifan  yang ditunjukkan oleh leluhur orang-orang Bima. Ini tentunya memberikan sebuah pelajaran bahwa meninggalkan rumah meski meninggalkan pesan meskipun dengan kebiasaan dan bahasa yang diberikan lewat tertutupnya daun pintu itu. Disamping itu, tamu atau tetangga tidak perlu menunggu lama karena sudah ada isyarat dari daun pintu tadi.
Seiring perubahan zaman, Uma Lengge sudah banyak yang dipermark disesuaikan dengan kebutuhan masa kini. Atapnya sudah banyak yang terbuat dari seng. Fungsinya juga sudah banyak yang menjadi lumbung. Lengge-lengge yang ada di wawo saat ini sudah banyak yang difungsikan sebagai lumbung padi. Keberadaan lengge di kecamatan Wawo menjadi salah satu obyek wisata budaya di kabupaten Bima. Banyak wisatawan manca negara yang berkunjung ke Lengge Wawo untuk melihat dan meneliti tentang sejarah Uma Lengge.
Lengge Sambori juga merupakan salah satu aset dan obyek wisata desa adat yang telah dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Bima. Sambori terletak di lembah gunung Lambitu yang sejuk dan dingin tanpa polusi udara. Menurut penelian sejarah orang orang Sambori atau yang dikenal dengan nama Dou Donggo Ele dan orang-orang Donggo Ipa atau di kecamatan Donggo sekarang merupakan suku asli Bima. Tapi apakah orang-orang sambori dan Donggo sekarang adalah suku asli Bima? Saya tidak sependapat karena orang-orang Sambori dan Donggo yang ada sekarang telah mengalami perkawinan campuran dengan suku mbojo lainnya maupun suku-suku lain di Indonesia. Raut wajah mereka juga tidak seperti yang digambarkan oleh sejarahwan M. Hilir Ismail dengan ciri keningnya agak lebar, berewokan, mirip profil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan suku Mbojo sekarang merupakan pembauran dengan suku pendatang dari Jawa dan Makassar.
Tapi asumsi yang bisa dikembangkan  adalah orang-orang yang pernah mendiami wilayah pegunungan sekitar gunung La’mbitu( Donggo Ele) dan gugusan pegunungan soromandi( Donggo Ipa) adalah penduduk asli Mbojo(Bima). Mereka menyingkir karena terdesak oleh kaum pendatang, lari dari pemukiman mereka yang semula di pinggir pantai kemudian menuju dataran tinggi. Dalam bahasa Bima lama, Donggo itu berarti tinggi atau dataran tinggi. Sehingga mereka disebut dengan Dou Donggo yaitu orang-orang dari dataran tinggi.
Lengge Sambori dan Lengge Wawo adalah aset budaya Bima yang harus terus dirawat dan dijaga. Itu adalah warisan leluhur yang sangat berarti bagi generasi. Dia adalah titipan keluguan peradaban yang akan terus bercerita sampai anak cucu kita. Untuk kepentingan pariwisata dan PAD Daerah, sudah seharusnya promosi dan penataan dilakukan sehingga akan menarik minat orang untuk berkunjung baik dalam rangka berwisata budaya maupun peneliatian-penelitian ilmiah.
READ MORE - Uma Lengge Mbojo