Dalam sejarah Bima, letusan Tambora terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid yang bergelar Mantau Asi Saninu ( yang memiliki Istana Cermin ) yang memerintah pada tahun 1762 – 1819 M). sedangkan Ruma Bicara atau perdana menteri saat itu adalah Abdul Nabi. Letusan dahsyat Tambora tercatat dalam BO( Kitab Sejarah Bima) maupun syair dari penyair terkenal Khatib Lukman.
Letusan dahsyat itu dilukiskan secara lengkap mengenai kerugian dan penderitaan yang dialami masyarakat di kesultanan Bima maupun di wilayah Tambora dan sekitarnya serta di pulau sumbawa. Dalam kitab Bo dilukiskan antara lain “ manusia banyak yang mati, bahkan dua kerajaan yang letaknya berdekatan dengan gunung Tambora menjadi hancur dan lenyap, yaitu kerajaan Pekat dan Tambora. Tanah pertanian hancur karena ditutupi lahar dan batu. Hewan dan tumbuh-tumbuhan mati dan musnah. Rakyat mengalami kelaparan dan kemiskinan, wabah penyakit menjalar kemana-mana. “
Cobaan lain yang dialami masyarakat Bima ketika itu adalah musim kemaru panjang, bajak laut dan perompak meraja lela. Masa-masa itu adalah masa yang teramat sulit dialami oleh kesultanan Bima, diperparah pula dengan monopoli yang dilakukan oleh penjajah Inggris maupun Belanda.
Baik khatib Lukman, Zollinger dan Reinward sama-sama sepakat bahwa kerugian harta benda serta jiwa manusia banyak yang terenggut akibat letusan Tambora. Tiga penulis itu sama-sama sependapat bahwa hampir setengah dari penduduk Bima menemui ajalnya ketika itu akibat letusan Tambora.
Akibat Letusan
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815 Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan.
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.[ Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau Lombok Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa. Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak. Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah erupsi. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.
Cobaan lain yang dialami masyarakat Bima ketika itu adalah musim kemaru panjang, bajak laut dan perompak meraja lela. Masa-masa itu adalah masa yang teramat sulit dialami oleh kesultanan Bima, diperparah pula dengan monopoli yang dilakukan oleh penjajah Inggris maupun Belanda.
Baik khatib Lukman, Zollinger dan Reinward sama-sama sepakat bahwa kerugian harta benda serta jiwa manusia banyak yang terenggut akibat letusan Tambora. Tiga penulis itu sama-sama sependapat bahwa hampir setengah dari penduduk Bima menemui ajalnya ketika itu akibat letusan Tambora.
Akibat Letusan
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815 Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan.
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.[ Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau Lombok Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa. Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak. Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah erupsi. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.
0 komentar:
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j:
Posting Komentar