Letusan Tambora Dalam BO Kerajaan Bima

Posted by Farah PinkQueenzza 01.36, under | No comments

Dalam sejarah Bima, letusan Tambora terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid yang bergelar Mantau Asi Saninu ( yang memiliki Istana Cermin ) yang memerintah pada tahun 1762 – 1819 M). sedangkan Ruma Bicara atau perdana menteri saat itu adalah Abdul Nabi. Letusan dahsyat Tambora tercatat dalam BO( Kitab Sejarah Bima) maupun syair dari penyair terkenal Khatib Lukman.
Letusan dahsyat itu dilukiskan secara lengkap mengenai kerugian dan penderitaan yang dialami masyarakat di kesultanan Bima maupun di wilayah Tambora dan sekitarnya serta di pulau sumbawa. Dalam kitab Bo dilukiskan antara lain “ manusia banyak yang mati, bahkan dua kerajaan yang letaknya berdekatan dengan gunung Tambora menjadi hancur dan lenyap, yaitu kerajaan Pekat dan Tambora. Tanah pertanian hancur karena ditutupi lahar dan batu. Hewan dan tumbuh-tumbuhan mati dan musnah. Rakyat mengalami kelaparan dan kemiskinan, wabah penyakit menjalar kemana-mana. “
Cobaan lain yang dialami masyarakat Bima ketika itu adalah musim kemaru panjang, bajak laut dan perompak meraja lela. Masa-masa itu adalah masa yang teramat sulit dialami oleh kesultanan Bima, diperparah pula dengan monopoli yang dilakukan oleh penjajah Inggris maupun Belanda.
Baik khatib Lukman, Zollinger dan Reinward sama-sama sepakat bahwa kerugian harta benda serta jiwa manusia banyak yang terenggut akibat letusan Tambora. Tiga penulis itu sama-sama sependapat bahwa hampir setengah dari penduduk Bima menemui ajalnya ketika itu akibat letusan Tambora.
Akibat Letusan
Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang, bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km . Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815 Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asab masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan.

Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam. Tsunami setinggi 1-2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km. Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10-30 km.[ Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815. Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Jumlah perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau Lombok Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa. Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak. Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles. Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah erupsi. Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.
READ MORE - Letusan Tambora Dalam BO Kerajaan Bima

Upacara Compo Sampari Dan Compo Baju

Posted by Farah PinkQueenzza 09.45, under | No comments

Upacara compo Sampari atau pemasangan keris( memakaikan keris) kepada anak laki – laki yang akan di Suna Ro Ndoso. Dilakukan oleh seorang tokoh adat, diawali dengan pembacaan do’a disusul dengan membaca shalawat Nabi. Upacara ini digelar sebagai peringatan bahwa  sebagai anak laki – laki harus memiliki kekuatan dan keberanian yang dilambangkan dengan sampari ( keris).


Sedangkan Upacara compo baju yaitu upacara pemasangan baju kepada anak perempuan yang akan di saraso ro ndoso. Baju yang akan dipasang sebanyak 7 lembar baju poro(Baju pendek) yang dilakukan secara bergilir oleh para tokoh adat dari kaum ibu. Makna compo baju adalah merupakan peringatan bagi anak, kalau sudah di saraso berarti sudah dewasa. Sebab itu harus menutup aurat dengan rapi. Tujuh lembar baju  adalah tujuh simbol tahapan kehidupan yang dijalani manusia yaitu masa dalam kandungan, masa bayi, masa kanak – kanak, masa dewasa, masa tua, alam kubur dan alam baqa(akherat).
Setelah semua upacara adat selesai dilaksanakan, maka akan dilaksanakan acara inti, yaitu acara khitanan. Bagi anak laki – laki dilaksanakan sore hari, dihadiri oleh pejabat sara hukum ( Gelara dan Lebe= Gelarang dan Penghulu), para ulama, tokoh adat dan para sanak keluarga, dikhitan oleh “Guru Suna” (Guru Sunat) yaitu seorang tokoh adat yang ahli sunat. Seiring kemajuan tekhnologi, khitan dilakukan oleh petugas kesehatan atau dokter.
Saraso ( khitan) anak perempuan, akan dilaksanakan pagi hari dihadiri oleh para tokoh adat perempuabn bersama sanak saudara. Khitanan anak perempuan dilakukan oleh isteri lebe(Lebai) dan istri Galara ( Gelarang). Acara khitanan diiringi dengan irama musik genda (gendang) yang bertalu – talu untuk menambah semangat dan keberanian anak yang dikhitan. Setelah disunat, khusus bagi anak laki – lai harus melakukan atraksi Maka” yaitu meloncat – loncat dengan keris di tangan kanan, sambil mengucapkan ikrar siap sedia mengorbankan jiwa raga demi Rakyat, Negeri dan Agama yang dicintai. Diiringgi irama gendang yang bertalu – talu.
READ MORE - Upacara Compo Sampari Dan Compo Baju

Masuknya Islam di Tanah Bima

Posted by Farah PinkQueenzza 09.41, under | No comments

Keadaan alam Bima memang sangat strategis bagi perkembangan politik agama dan perdagangan. Wilayah bagian  utara berbatasan langsung dengan laut flores , sebagai urat nadi perniagaan Nusantara sejak abad 14 M. Terletak di tengah rangkaian kepulauan nusantara dan memiliki pelabuhan alam yang terlindung dari serangan gelombang dan angin musim barat. Hasil alamnya cukup beragam dan menjadi bahan ekspor yang sangat laris pada zamannya. Inilah yang merupakan salah satu sebab bima bisa tampil sebagai negara maritim tersohor sejak abad 15 sampai pertengahan abad 20 M.

Sebagai negara maritim yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir dari berbagai penjuru negeri, seharusnya Bima lebih awal menerima pengaruh islam. Mengingat abad X M, saudagar-saudagar Islam Arab sudah banyak yang berkunjung ke Maluku (Ternate dan Tidore ) untuk membeli rempah-rempah. Tetapi dalam kenyataanya, berdasarkan berbagai sumber tertulis yang untuk sementara dapat dijadikan pegangan, masyarakat pesisir Bima baru mengenal islam sekitar pertengahan abad XVI M, yang dibawa oleh para Mubaliq dan pedagang dari kesultanan Demak, kemudian dilanjutkan oleh mubaliq dan pedagang kesultanan Ternate, pada akhir abad XVI M.
Menurut Sejarahwan M. Hilir Ismail, tahun 1540 M merupakan tonggak awal kedatangan Islam di tanah Bima. Proses islamisasi itu berlangsung dalam tiga tahap yaitu periode kedatangan Islam tahun 1540 – 1621, periode pertumbuhan islam tahun 1621-1640 M, dan periode kejayaan islam pada tahun 1640 – 1950 M. pada tahap awal sebelum Islam menjadi agama resmi kerajaan, ajaran Islam sudah masuk di wilayah-wilayah pesisir Bima.
Berdasarkan kajian dan penelitian itulah, ditetapkanl  dua tahap masuknya islam di tanah Bima. Hal itu didasarkan pada keterangan dari catatan lokal yang dimiliki,  ternyata tahap awal kedatangan Islam di Dana Mbojo, peranan Demak dan Ternate sangat besar. Para mubaliq dan pedagang dari dua negeri tersebut silih berganti menyiarkan Islam di Dana Mbojo. Selain itu para pedagang Bima pun memiliki andil dalam penyiaran Islam tahap awal. Secara kronologis kedatangan Islam di Bima yaitu tahap pertama dari Demak dan kedua dari Ternate.
Pada abad ke-16 M, Bima sudah menjadi salah satu pusat perdagangan yang ramai di wilayah bagian timur Nusantara. Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 M, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi oleh para  pedagang Nusantara dan para pedagang Bima berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda dan Malaka serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam.
Keterangan Tome Pires juga diperkuat Panambo Lombok, DR. E Urtrech, SH mengatakan bahwa “ pengislaman di pulau Lombok terjadi pada masa pemerintahan sunan prapen putera Sunan Giri  yang pernah menundukkan Sumbawa dan Bima. “ Saya sepakat dengan M. Hilir bahwa kata “ Menundukkan “ dalam keterangan Panambo Lombok itu tidaklah tepat, karena proses islamisasi di tanah air secara umum tidak dilakukan dengan jalan kekerasan melainkan dengan misi damai, dakwah dan perdagangan serta perkawinan silang. Kata menundukkan itu sebenanrnya lebih mengarah pada kesadaran masyarakat untuk memeluk Islam.  Disamping itu, jika terjadi penundukkan berarti raja Bima saat itu sudah memeluk Islam dan diikuti oleh rakyatnya. Tapi pada kenyataannya Islam baru secara resmi menjadi agama kerajaan pada tahun  1640 M.
Tahap kedua, Islam masuk di Bima melalui Ternate. Dari catatan Raja-Raja Ternate, dapat diketahui betapa gigihnya sultan Ternate bersama rakyatnya, dalam menegakkan nur islam di wilayah timur nusantara. Pada masa sultan Khairun, sultan Ternate ketiga (1536-1570), telah dibentuk aliansi Aceh-Demak-Ternate. Dan juga telah dibentuk lembaga kerjasama Al Maru Lokatul  Molukiyah yang diperluas istilahnya menjadi Khalifah Imperium Nusantara. Aliansi ini dibentuk untuk meningkatkan kerja sama antara tiga negara islam itu dalam penyebaran pengaruh Islam di wilayah Nusantara.
Pada masa sultan Baabullah(tahun 1570-1583), usaha penyiaran  Islam semakin ditingkatkan dan pada masa inilah, para Mubaliq dan pedagang Ternate meningkatkan kegiatan dakwah di Bima.  Hal itu terus berlanjut sesuai keterangan BO Istana, bahwa para Mubaliq dari Sulawesi Selatan  yang dikirim oleh Sultan Alauddin Gowa tiba di Sape pada tanggal 11 Jumadil Awal 1028 H bertepatan dengan tanggal 16 April 1618, tiga belas tahun setelah Raja Gowa dan Tallo memeluk Agama Islam, bahkan lima belas tahun setelah Raja Luwu memeluk Agama Islam.
Para mubaliq dari Tallo, Luwu, dan Bone tiba di Bima pada saat  situasi politik dan keamanan sangat tidak menguntungkan. Pada saat itu sedang terjadi konflik politik yang berkepanjangan, akibat tindakan dari Salisi salah seorang putera Raja Ma Wa’a Ndapa, yang berambisi untuk menjadi raja. Intrik dan rekayasa politik dijalankan oleh Salisi.  Ia membunuh keponakannya yaitu putera Raja Samara yang telah dilantik menjadi Putera Mahkota. Keponakannya itu dibakar hidup-hidup di padang rumput Wera, yang merupakan areal perburuan bagi raja dan keluarga Istana. Sehingga putera Mahkota itu dikenal dengan nama Ruma Mambora Di Mpori Wera. (Tuanku yang wafat di padang rumput Wera).
Suasana seperti itu tidaklah menyurutkan tekad dan semangat para mubaliq untuk menyiarkan islam di Bima. Mereka terus berupaya untuk menemui Putera Mahkota La Ka’I dalam pelariannya di dusun Kamina. Sebuah dusun di hutan belantara yang berada di puncak gunung La Mbitu di sebelah tenggara Bima.
Pada tanggal 15 Rabiul Awal 1030 H bertepatan dengan tanggal 7 Pebruari 1621 M, Putera Mahkota La Ka’I bersama pengikutnya mengucapkan dua kalimat syahadat dihadapan para mubaliq sebagai gurunya di Sape. Sejak itu, putera mahkota La Ka’I berganti nama menjadi Abdul Kahir. Pengikut La Ka’I Bumi Jara Mbojo bernganti nama menjadi Awaluddin, Manuru Bata putera Raja Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese berganti nama menjadi Sirajuddin.
Pada tanggal 5 Juli 1640 M, Putera Mahkota Abdul Kahir dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama setelah melewati perjuangan panjang merebut tahta kerajaan dari pamannya salisi. Hal itu  yang menandai beralihnya sistim pemerintahan dari kerajaan kepada kesultanan. Sejak saat itu, Islam bersinar terang di Bumi Bima dan masa –masa selanjutnya menjadi kesultanan tersohor di Nusantara Timur.
READ MORE - Masuknya Islam di Tanah Bima

Surat Sultan M. Salahuddin Kepada Sultan Sumbawa

Posted by Farah PinkQueenzza 09.31, under | 1 comment

Bima, 14 Desember 1949

Dipermaklumkan kepada anakda serta keluarga bahwa kami seisi Istana adalah dalam keadaan sehat wal’afiat adanya, semoga tuhan melimpahkan rahmat selamat seterusnya ke hadapan anakda beserta keluarga hendaknya.



Selanjutnya ayahanda ma’lum kehadapan ananda, ayahanda telah menerima surat – kawat dines tanggal 12, 12, 1949 dari Sumbawa (daerah), dimana dinyatakan bahwa dengan presiden  NIT tanggal 26/11-49 No. 1604-prb/49 maka mulai satu oktober 1948 dibebani dengan pelaksanan Djawatan Comisaris Negara Selatan di Singaraja p. Tuan Mr.A. Verhoof, presiden yang dperbantukan pada Comisaris Negara Selatan di Singaraja.
Bagi ayahanda merasa kecewa, apakah sebabnya diangkat seorang dari Bangsa Belanda yang memangku jabatan tersebut, sedang d idalam sidang atau Comperensi Kepala – Kepala daerah dalam bulan Agustus 1949 di Makassar telah disetujui bersama, bahwa yang diangkat menjabat Comisaris Negara itu, haruslah seorang bangsawan Indonesia yang cakap dalam menjalankan jabatan tersebut.
Dalam hal ini, ayahanda meminta dengan hormat, kiranyi ananda dapat diperoleh penjelasan atau keterangan atas keangkatan seorang Belanda ini untuk menjabat Comisaris Negara.
Pendirian ayahanda tetap bahwa yang diangkat menjabat pangkat Comisaris Negara itu haruslah berbangsa Indonesia, karena hal itu tjoktjok dan sesuai dengan perasaan jiwa nasional kita.

Wassalam dari Ayahanda
Beserta keluarga
Seri Sultan Bima

Ttd

M. Salahuddin
READ MORE - Surat Sultan M. Salahuddin Kepada Sultan Sumbawa

Uma Lengge Mbojo

Posted by Farah PinkQueenzza 09.21, under | No comments


Lengge merupakan salah satu rumah adat tradisional Bima yang dibuat oleh nenek moyang suku Bima(Mbojo) sejak zaman purba. Sejak dulu, bangunan ini tersebar di wilayah Sambori, Wawo dan Donggo. Khusu di Donggo terutama di Padende dan Mbawa terdapat rumah yang disebut Uma Leme. Dinamakan demikian karena rumah tersebut sangat runcing dan lebih runcing dari Lengge. Atapnya mencapai hingga ke dinding rumah. Namun saat ini jumlah Lengge  atau Uma Lengge semakin sedikit. Di kecamatan Lambitu, Lengge dapat ditemukan di desa Sambori yang berjarak sekitar 40 km sebelah tenggara kota Bima. Meskipun ada juga di desa lain seperti di Kuta, Teta, Tarlawi dan Kaboro dalam wilayah kecamatan Lambitu.
Di kecamatan Donggo juga terdapat Lengge. Meskipun memiliki sedikit perbedaan dengan Lengge Sambori maupun Lengge yang ada di Wawo. Secara umum, struktur Uma Lengge berbentuk kerucut setinggi 5- 7 cm, bertiang empat dari bahan kayu, beratap alang-alang yang sekaligus menuturpi tiga perempat bagian rumah sebagai dinding dan memiliki pintu masuk dibawah (Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima Hal 161).
Uma Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, palawija dan umbi-umbian. Pintu masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk para tetangga dan tamu. Menurut Safiun (65 thn) warga Sambori, jika daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama. Hal ini tentunya merupakan sebuah kearifan  yang ditunjukkan oleh leluhur orang-orang Bima. Ini tentunya memberikan sebuah pelajaran bahwa meninggalkan rumah meski meninggalkan pesan meskipun dengan kebiasaan dan bahasa yang diberikan lewat tertutupnya daun pintu itu. Disamping itu, tamu atau tetangga tidak perlu menunggu lama karena sudah ada isyarat dari daun pintu tadi.
Seiring perubahan zaman, Uma Lengge sudah banyak yang dipermark disesuaikan dengan kebutuhan masa kini. Atapnya sudah banyak yang terbuat dari seng. Fungsinya juga sudah banyak yang menjadi lumbung. Lengge-lengge yang ada di wawo saat ini sudah banyak yang difungsikan sebagai lumbung padi. Keberadaan lengge di kecamatan Wawo menjadi salah satu obyek wisata budaya di kabupaten Bima. Banyak wisatawan manca negara yang berkunjung ke Lengge Wawo untuk melihat dan meneliti tentang sejarah Uma Lengge.
Lengge Sambori juga merupakan salah satu aset dan obyek wisata desa adat yang telah dicanangkan oleh pemerintah Kabupaten Bima. Sambori terletak di lembah gunung Lambitu yang sejuk dan dingin tanpa polusi udara. Menurut penelian sejarah orang orang Sambori atau yang dikenal dengan nama Dou Donggo Ele dan orang-orang Donggo Ipa atau di kecamatan Donggo sekarang merupakan suku asli Bima. Tapi apakah orang-orang sambori dan Donggo sekarang adalah suku asli Bima? Saya tidak sependapat karena orang-orang Sambori dan Donggo yang ada sekarang telah mengalami perkawinan campuran dengan suku mbojo lainnya maupun suku-suku lain di Indonesia. Raut wajah mereka juga tidak seperti yang digambarkan oleh sejarahwan M. Hilir Ismail dengan ciri keningnya agak lebar, berewokan, mirip profil di Nusa Tenggara Timur. Sedangkan suku Mbojo sekarang merupakan pembauran dengan suku pendatang dari Jawa dan Makassar.
Tapi asumsi yang bisa dikembangkan  adalah orang-orang yang pernah mendiami wilayah pegunungan sekitar gunung La’mbitu( Donggo Ele) dan gugusan pegunungan soromandi( Donggo Ipa) adalah penduduk asli Mbojo(Bima). Mereka menyingkir karena terdesak oleh kaum pendatang, lari dari pemukiman mereka yang semula di pinggir pantai kemudian menuju dataran tinggi. Dalam bahasa Bima lama, Donggo itu berarti tinggi atau dataran tinggi. Sehingga mereka disebut dengan Dou Donggo yaitu orang-orang dari dataran tinggi.
Lengge Sambori dan Lengge Wawo adalah aset budaya Bima yang harus terus dirawat dan dijaga. Itu adalah warisan leluhur yang sangat berarti bagi generasi. Dia adalah titipan keluguan peradaban yang akan terus bercerita sampai anak cucu kita. Untuk kepentingan pariwisata dan PAD Daerah, sudah seharusnya promosi dan penataan dilakukan sehingga akan menarik minat orang untuk berkunjung baik dalam rangka berwisata budaya maupun peneliatian-penelitian ilmiah.
READ MORE - Uma Lengge Mbojo

Pelajaran Hemat Dari Tradisi Ampa Fare

Posted by Farah PinkQueenzza 09.14, under | No comments

Leluhur orang Bima telah mewariskan tatanan nilai dan kearifan lokal kepada generasinya. Kearifan itu tidaklah tertulis dalam buku-buku sejarah, tetapi tercecer secara turun temurun dan menjadi konvensi hidup masyarakat Bima selama berabad-abad lamanya. Salah satu warisan nilai dan kearifan itu adalah Tradisi Ampa Fare atau mengangkat Padi ke Lumbung yang digelar bertepatan dengan Festival Kuda Bima pada awal Desember 2010 di kompleks Uma Lengge Desa Maria Kecamatan Wawo. Kegiatan ini digelar dalam rangka HUT NTB ke-52 dan Menyambut Visit Lombok And Sumbawa 2012.
Tradisi Ampa Fare di Jompa atau Lengge ( Lumbung) memberikan pelajaran kepada kita terutama kaum ibu untuk berhemat dan mampu mengukur persediaan bahan makanan untuk kebutuhan keluarga. Dalam tradisi ini diajarkan bahwa seorang ibu rumah tangga hanya diperkenankan mengambil padi dan palawija lainnya di atas lumbung sekali dalam seminggu. Hal ini berarti bahwa seorang ibu rumah tangga harus dapat memperkirakan kebutuhan makanan keluarga selama satu minggu. Misalnya padi dibutuhkan berapa ikat, berapa biji umbi-umbian, berapa biji jagung serta bahan makanan lainnya.
Sebalikya bagi ibu rumah tangga yang mendatangi lumbung lebih dari sekali dalam seminggu akan menanggung malu karena dicap sebagai ibu rumah tangga pemboros. Disamping itu, ibu rumah tangga juga tidak diperkenankan  membelanjakan atau menjual padi untuk keperluan lain karena ada keyakinan bahwa padi akan menangis jika hal itu dilakukan. Ada cerita turun temurun bahwa padi sebagai Ruma Nawa atau sumber kehidupan tidak boleh ditukar atau dijual.
Pada masa lalu, padi disimpan di Uma Lengge atau Jompa adalah untuk kebutuhan satu tahun mengingat kondisi dan keadaan iklim di Bima-Dompu merupakan daerah tadah hujan, dan hanya mengandalkan hasil panen sekali setahun. Disamping itu, penyimpanan padi di atas Uma Lengge dihajatkan untuk meminimalisir resiko kerugian apabila dilanda bencana kebakaran. Apabila Rumah Tempat Tinggal terbakar, maka padi sebagai bahan makanan pokok tidak ikut terbakar, demikian pula jika Lengge atau atau Jompa terbakar, maka pemukiman tidak ikut terbakar. Oleh karena itulah, kompleks Uma Lengge di Desa Maria Kecamatan Wawo Kabupaten Bima dibangun agak jauh dari pemukiman penduduk.
Penyimpanan padi atau palawija di atas Lengge tentu juga memperhatikan kapasitas Uma Lengge Atau Jompa. Oleh karena itu, di atas Lengge telah diatur sedemikian rupa ruang-ruang untuk penyimpanan padi, jagung, Witi (Jewawut), Lere (Jali-Jali) serta Latu ( Gandum ). Satu Lengge biasanya berisi Sajala Fare ( atau seribu ikat Padi), Santari Jago( 200 biji Jagung), Jewawut, Jali-Jali, serta gandum secukupnya. Stok ini adalah kebutuhan untuk satu tahun. Karena pada masa lalu,panen hanya dilakukan sekali dalam setahun. Biasanya, kebutuhan stok itu mampu dilakukan sampai pada musim panen berikutnya.
Dalam Tradisi atau upacara Adat Ampa Fare, prosesinya diawali dengan pengumpulan dan perhitungan padi dan palawija yang akan disimpan di atas Uma Lengge.Upacara diawali dengan Doa Salama atau pembacaan Doa selamat untuk memohon kepada Tuhan semoga padi yang disimpan di Lengge dalam keadaan aman. Doa dimpimpin oleh tokoh agama atau ulama setempat. Setelah itu, prosesi Ampa Fare dimulai yang diawali pelemparan padi ke atas lumbung yang biasanya dilakukan oleh kepala desa atau tetua adat. Setelah itu diikuti oleh anggota keluarga dan masyarakat. Sementara di atas Uma Lengge ada satu orang yang menerima lemparan padi tadi dan mengatur posisi padi atau palawija di atas Uma Lengge supaya posisinya teratur dan tertata rapi.
Pada masa lalu, Upacara Ampa Fare dilaksanakan secara  gotong royong dan berlangsung di kompleks Uma Lengge Maria ini. Kebersamaan dan pelajaran Hemat yang terkandung dalam tradisi ini  sesungguhnya masih relevan untuk diterapkan pada masa kini. Momentum ini disamping dihajatkan untuk promosi wisata budaya di daerah Bima, ternyata menyimpan tatanan nilai dan kearifan lokal yang harus terwawrisi sampai kapanpun.
READ MORE - Pelajaran Hemat Dari Tradisi Ampa Fare

Upacara Adat Hanta UA PUA

Posted by Farah PinkQueenzza 09.09, under | No comments

Seperti dua sisi mata uang. Satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Demikianlah keterkaitan antara sejarah  masukunya Agama Islam di tanah Bima dengan Upacara U’a Pua. Tanpa mengetahui seluk beluk kilas balik serta pasang surut sejarah masuk dan berekmbangnya Islam di Bima, tidaklah mungkin kita dapat mengetahui secara utuh proses dan sejarah lahirnya upacara adat U’a Pua. Oleh karena itu, ada baiknya kita bernostalgia dengan sejarah masuknya Islam di Bima yang menjadi tonggak dan babak baru perubahan sistim pemerintahan dari kerajaan kepada Kesultanan.
 
Adapun tujuan  utama dari perayaan U’a Pua  sebagai berikut :
 
1.      Untuk memuliakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
2.      Untuk mengenang kembali sejarah masuknya agama Islam di Tanah Bima dan sekaligus sebagai wahana penghormatan atas jasa-jasa para penghulu Melayu beserta seluruh kaum keluarga yang telah menyebarkan agama Islam di Tanah Bima.
3.      Meningkatkan pemahaman dan pengamalan Ajaran Islam yang bersumber dari Kitab Suci Alqur’an dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bima dan ditunjukan dengan penyerahan Kitab Suci Alqur’an kepada Sultan sebagai pemimpin untuk dilaksanakan secara bersama-sama dengan seluruh rakyat.

            Hanta U’a Pua merupakan salah satu Upacacara Adat Spektakuler yang telah digelar turun temurun pada masa lalu, terutama pada masa-masa keemasan dan kejayaan kesultanan Bima. Upacara Adat yang erat kaitannya dengan sejarah masuk Agama Islam di Tanah Bima ini, te;ah menjadi rutinitas seluruh elemen masyarakat Bima sejak dekade awal masuknya Islam. UA PUA dilaksankan pada bulan Rabiul Awal bertepatan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW setiap tahun.
 
            Ua Pua dalam bahasa melayu disebut” Sirih Puan”  adalah satu rumpun tangkai bunga telur berwarna warni yang dimasukkan ke dalam satu wadah segi empat. Jumlah bunga telur tersebut berjumlah 99(Sembilan Puluh Sembilan) tangkai yang sesuai dengan Nama Asma’ul Husna. Kemudian di tengah-tengahnya ada sebuah Kitab Suci Alqur’an.
 
            Ua Pua ditempatkan di tengah-tengah sebuah Rumah Mahligai(Bima: Uma Lige) yang berbentuk segi empat berukuran  4x4 M2. Bentuk Uma Lige ini  terbuka dari ke empat sisinya. Atapnya bersusun dua, sehingga para penari lenggo Mbojo yang terdiri dari empat orang gadis, dan penari lenggo melayu yang terdiri dari empat orang perjaka, beserta para penghulu melayu dan pengikutnya yang berada di atas dapat dilihat oleh seluruh mayarakat sepanjang jalan.
 
            Uma Lige tersebut diusung oleh 44 orang pria yang berbadan kekar sebagai simbol dari keberadaan 44 DARI MBOJO yang terbagi menurut 44 jenis keahlian dan ketrampilan yang dimilikinya sebagai bagian dari struktur Pemerintahan kesultanan Bima. Mereka melakukan start dari kampung melayu menuju Istana Bima untuk diterima oleh Sultan Bima dengan Amanah yang harus dikerjakan bersama yaitu memegang teguh ajaran Islam.
 
            Pada masa lalu, sebelum Upacara Adat U’a Pua dilaksanakan sebagai puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, diawali oleh kegiatan-kegiatan atraksi seni Budaya Tradisional dan pengajian Alqur’an selama tujuh hari, tujuh malam.  Seluruh seniman dan Pendekar dari berbagai pelosok desa dalam wilayah kesultanan Bima berkumpul di lapangan Sera Suba untuk mempertunjukan kehebatannya. Dan pada puncak peringatan Maulid, Hanta U’a Pua pun digelar. Diawali pemukulan Ranca Na’e pada pukul 6 pagi dari loteng Gerbang Istana(Lare-Lare Asi). Hal tersebut dimkasudkan sebagai permakluman bahwa hari upacara adat telah tiba. Kemudian pada sekitar pukul 7 pagi utusan sultan yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, Anggota Laskar kesultanan, bersama penari lenggo Mbojo menjemput penghulu melayu di kediamannya, Kampung Melayu.
 
            Sekitar pukul 8 pagi, rombongan penghulu melayu berangkat dari kampung melayu menuju Istana Bima. Keberangkatan rombongan tersebut ditandai dengan dentuman meriam. Adapun rombongan yang menyertai para penghulu melayu secara berurutan antara lain adalah Pasukan Jara Wera sebagai pengawal pembuka jalan, diikuti oleh pasukan Jara Sara’u dengan hentakan kaki kuda yang khas dan kuda pilihan, Anggota Laskar Suba Na’e dan Penari Sere, Pasukan Pengusung Uma Lige(Mahligai), dan terkahir diikuti oleh rombongan Pemuka Adat Dana Mbojo.

            Ketika Penghulu Melayu  beserta rombongan tiba di Istana Bima disambut pula dengan dentuman meriam dan berbagai atraksi serta tarian tradisional seperti tari kanja, tari sere,Gentaong dan dilanjutkan dengan Mihu yaitu pernyataaan kesiapan sultan untuk menerima sekaligus memulai upacara penyerahan U’a Pua yang berisi Kitab Suci Alqur’an. Setelah U’a Pua diserahkan, penghulu melayu dan sultan duduk berdampingan sambil menyaksikan Tari Lenggo U’a Pua sebagai lambang keharmonisan hubungan dan simbol kesamaan Visi dan Misi masyarakat Mbojo dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Kemudian dibagian akhir Upacara ditandai dengan pembagian 99 tangkai bunga telur sebagai simbol Asma’ul Husna(99 sifat allah) kepada seluruh hadirin.
READ MORE - Upacara Adat Hanta UA PUA

Sepenggal Kenangan Bersama Lare-Lare Istana Bima

Posted by Farah PinkQueenzza 09.01, under | No comments

Kompleks Asi Mbojo tidak bisa dilepaskan dengan dua buah pintu gerbang atau pintu masuk menuju Asi Mbojo. Pintu-pintu itu juga merupakan bangunan bersejarah dan memiliki fungsi satu sama lainnya. Pintu gerbang sebelah barat bernama Lare-Lare merupakan pintu resmi kesultanan yaitu tempat masuknya sultan, para pejabat kesultanan dan tamu-tamu sultan. Di bagian atasnya yaitu di loteng merupakan tempat untuk menyimpan Tambur “ Ranca Nae “ dan dua buah lonceng. Tambur Ranca Nae dibunyikan sebagai tanda  pemberitahuan adanya upacara kebesaran. Sedangkan kedua loncengnya dibunyikan untuk pemberitahuan adanya tanda bahaya.
Pintu gerbang sebelah timur disebut Lawa Kala atau Lawa Se yang merupakan pintu masuk bagi anggota Sara hukum dan ulama. Sedangkan pintu masuk bagi para keluarga Istana ada di belakang Asi  bernama Lawa Weki.(Muslimin Hamzah, Ensiklopedia Bima)
READ MORE - Sepenggal Kenangan Bersama Lare-Lare Istana Bima

Ncimi Kolo Saat Bulan Purnama

Posted by Farah PinkQueenzza 08.56, under | No comments

Bagi orang-orang Bima yang saat ini telah beranjak dewasa dan berada di berbagai pelosok Bumi ini tentu sangat akrab dengan Ncimi Kolo. Permainan masa kecil ini biasa dilakukan pada malam bulan purnama usai belajar shalat Isya Berjamaah dan pulang dari surau-surau untuk belajar ngaji. Yah… Ncimi kolo adalah kenangan yang tak terlupakan bagi orang-orang yang dilahirkan dan dibesarkan dari peradaban Dana Mbojo Sampai kapanpun.

Apa dan Bagaimanakah permainan ini ? Saya mencoba menggali akar budaya ini untuk teman-teman dimana saja berada. Ncimi Kolo sejenis permainan yang dimainkan oleh anak-anak laki-laki dan kadang juga perempuan.Pemain dibagi dua regu, satu regu akan Ncimi Kolo (bersembunyi), regu lain mencari. Ncimi Kolo diangkat menjadi nama permainan. Dimainkan pada bulan purnama setelah usai mengaji dan sholat Isya. Sambil menemai para ibu dan gadis yang sedang memintal benang di halaman rumah.
Permainan ini lajimnya dimainkan oleh anak-anak laki-laki berusia 6-12 tahun, terdiri dari dua regu, setiap regu beranggotakan 2-4 orang. Ada regu yang bersembunyi dan ada regu yang mencari. Sebelum permainan dimulai disepakati dahulu areal atau wilayah yang dijadikan arena permainan untuk tempat bersembunyi. Agar memudahkan regu pencari untuk menemukan tempat persembunyian. Mpa’a Ncimi Kolo tidak diiringi dengan lagu sebagai musik pengiring. Mpa’a Ncimi Kolo masih digemari oleh anak-anak usia 6-12 tahun.
Saat ini permainan Ncimi Kolo tinggal kenangan. Tidak ditemukan lagi anak-anak dan remaja di Bima- Dompu yang melakoni permaianan ini. Anak-anak kita telah banyak yang terbius permainan modern yang terkadang tidak mendidik dan tidak sesuai dengan akar budaya. Namun dibalik itu, saya merasa terharu dan bangga atas upaya yang dilakukan jajaran SDN No 5 Kota Bima ( dulu Raba 2 Red) yang mengajarkan kembali permainan rakyat Bima kepada siswanya usai pelajaran olahraga. Hal ini tentunya perlu dilakukan oleh sekolah-sekolah lain di Bima-Dompu untuk melestarikan permainan rakyat tradisional sebagai akar budaya daerah
READ MORE - Ncimi Kolo Saat Bulan Purnama

Permainan “ Tapa Gala “ Ditengah Permainan Modern

Posted by Farah PinkQueenzza 08.50, under | No comments

Tapa Gala artinya “menghadang lawan atau musuh dengan membentangkan dua lengan”. Mpa’a Tapa Gala berarti jenis permainan menghadang lawan dengan cara membentangkan dua lengan. Sebelum permainan dimulai, dipersiapkan arena atau lapangan yang berbentuk segi empat panjang. Ukurannya disesuaikan dengan jumlah dan usia pemain. Dibagi dalam beberapa kamar atau ruang yang merupakan tempat pemain menghadang lawan.
Pemain dibagi dalam dua regu (kelompok). Setiap regu beranggotakan antara 2-6 orang. Usia pemain sekitar 10-14 tahun. Tetapi dalam kenyataannya para remaja yang berumur lebih dari 14 tahun masih sering bermain Tapa Gala. Idealnya Mpa’a Tapa Gala hanya untuk anak laki-laki, tetapi kalau ada anak perempuan yang mau bermain, mereka harus membuat regu atau kelompok bermain sendiri.
Mpa’a Tapa Gala dimainkan oleh 2 regu. Satu regu akan bermain atau akan berusaha melintasi hadangan. Regu kedua akan berperan sebagai penghadang. Bila salah satu anggota regu berhasil melewati hadangan dan kembali (keluar) dengan selamat, regu tersebut dinyatakan menang. Jika gagal atau dapat dihalangi oleh regu penghalang maka regu penghalanglah yang menang.
Sampai sekarang kecintaan anak-anak pada Mpa’a Tapa Gala masih terus bertahan. Para remaja masih senang bermain Tapa Gala. Bahkan anak-anak perempuan tidak mau ketinggalan. Semoga kecintaan mereka tetap langgeng, tidak terpengaruh oleh berkembangnya aneka jenis permainan yang datang dari luar atau permainan modern.
READ MORE - Permainan “ Tapa Gala “ Ditengah Permainan Modern

Mutiara Alam Bima

Posted by Farah PinkQueenzza 07.04, under | No comments

Mutiara Alam Bima

Mutiara bukan hanya suatu keindahan yang selalu diimpikan oleh setiap wanita, akan tetapi juga merupakan komoditas unggulan perikanan budidaya yang perlu ditingkatkan produksinya. Karena hampir seluruh produksinya ditujukan untuk diekspor keluar negeri. Saat ini para pembeli mutiara Indonesia di Jepang telah banyak yang mengetahui bahwa mutiara tersebut berasal dari Indonesia, sehingga akan lebih baik bila membeli secara langsung dari Indonesia. Peningkatan produksi yang dicapai saat ini, dinilai cukup besar. Selama periode 2005-2009 produksi mutiara diharapkan meningkat dari 12 ton pada tahun 2005 menjadi 18 ton pada tahun 2009.

Memang pengembangan usaha budidaya mutiara masih banyak mengalami hambatan baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Walaupun saat ini kondisi keamanan dapat dikatakan lebih kondusif, tetapi masih sulit bagi perusahaan budidaya mutiara yang telah hancur untuk bangkit kembali.

Untuk membangkitkan kembali usaha budidaya mutiara sekaligus menciptakan iklim usaha yang kondusif, pada TA 2003 melalui dana dekonsentrasi telah dialokasikan dana untuk penguatan modal bagi kelompok pembudidaya kerang mutiara KUB Bangket Segara Lauq di Kab. Lombok Timur-NTB sebesar Rp 500 juta, berupa pengadaan sarana budidaya dan produksi termasuk benih kerang mutiara. Kegiatan in dilanjutkan lagi pada tahun 2004 dengan dana sebesar Rp. 450 Mutiara juta, dengan penerima bantuan yangsama. Hal ini dilakukan agar dampak pengembangan usaha budidaya mutiara oleh KUB Bangket Segara Lauq dapat dilihat lebih nyata. Sedangkan pembinaan teknisnya dilakukan oleh Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Pantai (BPBPP) Sekotong.

Dilihat dari ukuran kerang mutiara yang dibudidayakan menunjukkan perkembangan yang cukup bagus. Baik yang dilakukan dengan dana penguatan modal TA. 2003 maupun TA 2004. Disamping itu terlihat adanya kemitraan usaha antara pemasok benih dengan KUB. Melalui kegiatan ini diharapkan agar masyarakat yang semula hanya merupakan "Penonton", dapat memiliki usaha sendiri sekaligus mengamankan lokasi tersebut dari penjarahan.

Untuk mengevaluasi keberhasilan sekaligus menginventarisir permasalahan dalam pelaksanaan kemitraan, serta mempertemukan langsung perusahaan/ UPT pensuplai benih dengan kelompok pembudidaya, pada pertengahan Mei 2005 lalu, di NTB telah diselenggarakan Temu Kemitraan Usaha Budidaya Mutiara, yang dihadiri oleh wakil-wakil dari Ditjen. PK2P Ditjen. Perikanan Budidaya, Dinas Perikanan dan Kelautan Prov. NTB, Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Timur, Kab. Lombok Barat, Kab. Sumbawa, Kab. Dompu dan Kab. Bima, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), PT. Bank NTB, BPBPP Sekotong, Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) Sumbawa Barat, Loka Budidaya Laut Lombok, Perusahaan Budidaya Mutiara di Prov. NTB dan KUB Bangket Segara Lauq.

Perkembangan kemitraan
Kemitraan Usaha Budidaya Mutiara di NTB yang telah dilakukan pada tahun 2000 di Kab. Sumbawa dan Kab. Lombok Barat untuk pengadaan sarana budidaya didanai oleh DanaAlokasi Khusus (DAK), dengan bimbingan teknis dilakukan oleh PT. Selat Alas dan PT. Sima Mutiara. Kemitraan usaha di Kab.Bima dilakukan oleh PT. Bima Sakti Mutiara secara swadaya. Tetapi Kemitraan Usaha ini tidak berkelanjutan, disebabkan pola kemitraan usaha yang belum mantap, sedangkan di Kab. Bima sampai saat ini masih berlang-sung.

Sedangkan untuk Kab. Lombok Timur dimulai pada tahun 2003 dan dilanjutkan pada tahun 2004 melalui dana dekonsentrasi untuk penguatan modal KUB Bangket Segara Lauq yang terdiri dari 50 orang pembudidaya, yang juga merupakan pembudidaya kerapu dan lobster, bermitra dengan PT. Selat Alas, PT. Budidaya Mutiaratama dan PT. Buana Gemilang Hamparan Mutiara (BGHM).

Kegiatan ini dilanjutkan pada tahun 2005 yang merupakan bagian dari kegiatan Program Budidaya Pedesaan (BUPEDES), dilakukan dalam bentuk pembelian benih kerang mutiara, teknologi insersi inti dan penampungan kerang mutiara serta pemasaran biji mutiara. Benih diperoleh dari PT. Budidaya Mutiaratama, PT. Selat Alas, BPBPP Sekotong sebanyak 13.000 ekor dan kerang mutiara dari alam sebanyak 500 ekor.

Hingga saat ini stock kerang mutiara sebanyak 80 ekor ukuran 1 - 3 cm, 6.258 ekor ukuran 5-8 cm dan 1.000 ekor kerang mutiara ukuran 8-12 cm yang sudah diinsersi dan diperkirakan akan panen pada bulan Juni - Juli 2006.

Untuk memantapkan kemitraan usaha, dalam kesem-patan ini telah dilakukan penan-datanganan Nota Kesepahaman antara : KUB dengan PT Selat Alas, PT Budidaya Mutiaratama sebagai pemasok benih kerang mutiara; KUB dengan LBL Lombok dan BPBPP Sekotong dalam penyediaan benih, pendampingan teknologi budidaya mutiara dan pembinaan SDM, dan KUB dengan PT. BGHM yang menampung kerang mutiara, insersi inti dan pemasaran biji mutiara.

Harapan
Dengan pertemuan ini, diharapkan adanya upaya yang mampu mendorong peningkatan perkembangan budidaya mutiara di Indonesia, yang antara lain: pembebasan PPn 10 % kerang dan biji mutiara; sertifikasi mutu biji mutiara dan penerapan Surat Keterangan Asal (SKA). Perlunya peningkatan akses pasar melalui lobby perdagangan luar negeri untuk penguatan promosi (branding), Market intelligence dan penguatan image bahwa South Sea Pearl (SSP) adalah mutiara asli Indonesia serta fasilitas pemasaran mutiara melalui penyelenggaraan lelang nasional.
READ MORE - Mutiara Alam Bima

Tembe Nggoli

Posted by Farah PinkQueenzza 07.04, under | No comments


Tembe Nggoli
Tembe Nggoli adalah sarung tenun tangan khas Bima, dibuat dari benang kapas (katun), dengan warna-warni yang cerah dan bermotif khas sarung tenun tangan.



Keistimewaanya Tembe Nggoli antara lain:
* Hangat
* Halus dan lembut
* Tidak mudah kusut
* Warna cemerlang lebih lama

Saat ini, Tembe Nggoli sudah diproduksi dalam berbagai macam corak dan motif. Ada yang 'biasa' (untuk dipakai sehari-hari), dan ada pula yang istimewa yang hanya dipakai pada acara-acara resmi.

Bagi orang Bima, memakai sarung lazim dilakukan baik oleh kaum pria maupun wanita. Wanita Bima memakai sarung sebagai 'bawahan', bahkan masih ada yang menggunakan dua buah sarung, yang disebut "rimpu". Rimpu adalah cara wanita Bima menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan mata disebut "rimpu mpida".

Cara memakai sarung antara pria dan wanita berbeda. Bagi kaum pria, sarung dipakai seperti layaknya kaum pria di Indonesia lainnya, yaitu digulung ketat pada perut/pinggang, yang disebut "katente". Bagi kaum wanita, sarung tidak digulung melainkan dilipat dan diselipkan (dijepit agar tidak terlepas), yang disebut "sanggentu". Selain itu perbedaan juga terletak pada posisi "bali" (yaitu bagian sarung yang diberi warna/motif berbeda, biasanya ditaruh pada bagian belakang ketika dipakai). Bagi kaum pria, 'bali' diletakkan agak ke kanan, sedangkan bagi kaum wanita 'bali' diletakkan agak ke kiri. Pemahaman tentang letak 'bali' ini menunjukkan tingkat pengetahuan pemakai sarung, atau menunjukkan ketelitiannya dalam berpakaian.

Masyarakat Bima juga menggunakan sarung sebagai selimut ketika tidur. Masyarakat yang tradisional bahkan tidak pernah atau tidak suka menggunakan selimut yang biasa, tetapi lebih nyaman menggunakan sarungnya yang hangat.

Kini, sarung Bima atau Tembe Nggoli banyak dijadikan koleksi atau oleh-oleh khas dari Bima.
READ MORE - Tembe Nggoli

Lawata Beach ( Pantai Lawata )

Posted by Farah PinkQueenzza 06.58, under | No comments

Sisi lain dari pemandangan di Pelabuhan Bima


Lawat Beach
Anak-anak sangat gembira disaat rekreasi di Pantai Lawata. Apalagi kalau sempat naik perahu rame-rame.


Lawata Beach
Masih di Pantai Lawata, perahu yang dinaiki anak-anak sedang meluncur menuju tengah laut. Anak-anak makin gembira.
READ MORE - Lawata Beach ( Pantai Lawata )

Pelabuhan Bima

Posted by Farah PinkQueenzza 06.57, under | No comments

Salah satu pemandangan pantai di Wadu mbolo dilihat dari sisi selatan. Tempat ini juga termasuk salah satu tujuan untuk warga yang pingin jalan sore-sore.


Pemandangan Pelabuhan Bima
Tampak Kapal Ferry sedang berlabuh di Pelabuhan Bima.
READ MORE - Pelabuhan Bima

Senja di Ama Hami

Posted by Farah PinkQueenzza 06.56, under | No comments

Bagi orang-orang bima dirantauan, yang kebetulan belum berkesempatan pulang kampung, atau rekan-rekan yang bukan warga bima dan ingin mengetahui sudut-sudut daerah bima, berikut ini kami tampilkan sedikit keadaan Dana Mbojo satu dua tahun terakhir. Selamat menikmati Edisi ke-3 Awal Tahun Baru 1430 H/2009 M

Senja di Ama Hami
Sebuah suasana yang direkam pada waktu senja hari di Ama Hami. Ya, sore yang indah untuk kita jalan-jalan menanti waktu magrib tiba. Biasanya anak-anak muda dan orang tua plus keluarga sejenak bersantai ria di Ama Hami kala senja tiba.
READ MORE - Senja di Ama Hami

Utambeca Sandanawa dengan rusuk rusa kering

Posted by Farah PinkQueenzza 06.55, under | No comments

Utambeca Sandanawa dengan rusuk rusa kering

Bahan-bahan yang dibutuhkan
6 kepal atau bulatan daun sandanawa yang sudah direbus terlebih dahulu dan sudah diperas seperti daun singkong yang akan digulai
1-2 batang rusuk rusa kering (potong-potong sesua selera)
2 gelas santan kental dari 1 kelapa dan 3 gelas santan encer dari kelapa yang sama
1 batang sereh
1 ruas jari lengkuas memarkan

Bumbu-bumbu
3 biji cabe keriting (potong-potong)
7 biji bawang merah (potong-potong)
3 siung bawang putih (potong-potong)
1 buah tomat sedang (potong-potong)
Garam secukupnya
1 sendok minyak goreng (ini pilihan boleh juga tidak ditumis)

Cara Membuatnya
Rebus daun sandanawa dan tulang rusukdengan santan encer bila airnya kurang tambahkan air biasa, rebus sampai mendidih.
Tumis bumbu yang sudah dipotong-potong setelah layu masukkan kedalam sayur diikuti garam dan santan kental,
masak terus sambil diaduk-aduk sampai mendidih.
READ MORE - Utambeca Sandanawa dengan rusuk rusa kering

Mbohi Jame

Posted by Farah PinkQueenzza 06.54, under | No comments

Mbohi Jame

Bahan-bahan yang dibutuhkan
1/4kg mbohi mene (ikan teri basah yang sudah difermentasi), cuci lalu tiriskan
1 sendok makan minyak goreng
300ml santan dari 1/2buah kelapa
1 genggam daun kemangi
1 lembar sereh
1 ruas jari lengkuas
10 buah cabe rawit biarkan utuh
Garam secukupnya

Bumbu-bumbu (semuanya diiris-iris)
5 cabe keriting
10 butir bawang merah
5 siung bawang putih
1 buah tomat
5 buah belimbing wuluh
1 ruas jari kunyit


Cara membuatnya
Panaskan minyak dan tumis semua bumbu yang sudah diiris-iris diikuti sereh, lengkuas,
setelah harum masukkan mbohi mene aduk aduk sebentar lalu masukkan santan, garam secukupnya dikira-kira garamnya mengingat mbohi mene sudah asin.
Masukkan cabe rawit setelah matang dan santan berkurang masukkan kemangi lalu angkat.

*Kalau tidak ada mbohi mene bisa digantikan dengan ikan teri basah tetapi sebelum dimasak digarami terlebih dahulu dan biarkan menjadi layu (tidak perlu dimasukkan ke dalam lemari es) sampai hendak dimasak* Rasanya lebih segar.
READ MORE - Mbohi Jame

Mbohi Dungga (Sambal Jeruk)

Posted by Farah PinkQueenzza 06.54, under | 1 comment

Mbohi Dungga (Sambal Jeruk)

Sambal ini khusus diproduksi di Desa Parado secara turun temurun. Sederhana saja bahan dan cara pembuatannya.

Terbuat dari jeruk (jeruk khusus yang ada di Parado semacam jeruk Medan tapi rasanya asam) yang dibuang kulit dan bijinya serta diiris-iris lalu dicampurkan dengan garam. Dibiarkan selama berminggu-minggu (difermentasi).

Jadilah sambal siap saji tahan bertahun-tahun.
READ MORE - Mbohi Dungga (Sambal Jeruk)

Uta Londe (Ikan Bandeng)

Posted by Farah PinkQueenzza 06.53, under | No comments

Uta Londe Puru (Ikan Bandeng Bakar)

Bahan-bahan yang dibutuhkan
1 ekor bandeng ukuran sedang (6-7ons) disayat 2-3 sayat, sisiknya dibiarkan utuh bersihkan isi perutnya bila suka biarkan saja isi perutnya, buang empedunya saja.
½ sendok makan garam yang sudah dilarutkan dalam 100cc air matang
Alat pemanggangan dan arang secukupnya

Cara membuatnya

Siapkan alat pemanggang serta arang yang sudah jadi bara,
Panggang ikan bandeng di atasnya balik-balik jangan sampai hangus.
Setelah matang celupkan segera ikan bandeng ke dalam air garam.
Hidangkan bersama tambeca maci ro’o parongge (lihat kelompok Sayur Mayur) serta sambal sia dungga, atau mbohi dungga, dhoco mangge moro.


Uta Londe Palumara (Ikan Bandeng Rebus Asem)

Bahan-bahan yang dibutuhkan

1 ekor ikan bandeng ukuran sedang (6-7ons) bersihkan sisik dan isi perutnya (bila suka biarkan saja isi perutnya, buang empedunya saja), potong 5 bagian
1 batang sereh dan 1 ruas jari lengkuas memarkan
1 ikat daun kemangi atau segenggam
1 sendok makan minyak goreng untuk menumis
100cc air asam jawa/bima dari 2-3 buah asam matang
2 gelas air untuk kuah

Bumbu yang dihaluskan

2 cabe merah
5 butir bawang merah
3 siung bawang putih
1 buah tomat ukuran sedang
½ ruas jari kunyit
Garam secukupnya


Cara membuatnya

Cara 1
Panaskan minyak, setelah panas masukkan bumbu yang sudah dihaluskan diikuti sereh dan lengkuas, setelah harum masukkan ikan bandeng aduk aduk dan biarkan beberapa detik lalu masukkan air asam ditambah 2 gelas air. Masak di atas api sedang selama kira-kira 20 menit, setelah matang masukkan kemangi, tambahkan sedikit gula atau penyedap rasa bila suka. Siap dihidangkan

Cara 2

Bumbu-bumbu di atas tidak dihaluskan tapi cukup diiris tipis-tipis, bila suka tambahkan irisan belimbing wuluh tetapi air asam harus dikurangi.

Siapkan panci atau penggorengan. Campur minyak dan semua bumbu yang sudah diiris serta ikan bandeng ke dalam panci serta air asam dan 2 gelas air. Rebus kira-kira selama 20 menit , selanjutnya ikuti cara 1 di atas. (Rasanya lebih segar)

Cara 3

Bila bandeng diganti dengan udang, rasanya hamper mirip dengan tom yam kung (masakan Thailand), tambahkan bubuk cabe saja dan daun jeruk lengkuas dan daun sereh diperbanyak.
READ MORE - Uta Londe (Ikan Bandeng)

Uta Kato Bhasa Tarindi Mangge

Posted by Farah PinkQueenzza 06.52, under | No comments

Uta Kato Bhasa Tarindi Mangge

Bahan-bahan yang dibutuhkan
1/2kg ikan kakap atau bandeng atau ikan apa saja sesuai selera tapi kalo bisa jangan ikan kembung
1 batang sereh
1 ruah jari lengkuas
1 ikan atau 1 genggam kemangi

Bumbu yang dihaluskan
2 buah cabe merah atau keriting
10 butir kemiri
½ ruas jari jahe
10 butih bawang merah
5 siung bawang putih
½ ruas jari kunyit/bisa juga tidak pakai
2 jumput tarindi (pucuk daun asam)

Cara Membuatnya

Lumuri ikan dengan bumbu yang sudah dihaluskan serta campurkan dengan sereh, lengkuas dan kemangi, pepes dengan daun pisang menjadi 3 bungkus. Panaskan wajan lalu taruh ikan pepes diatasnya, bolak balik sampai matang di atas api kecil - sedang.
READ MORE - Uta Kato Bhasa Tarindi Mangge

Uta Maju (Daging Rusa)

Posted by Farah PinkQueenzza 06.52, under | No comments

Uta Maju (Daging Rusa)

Daging rusa di Bima biasanya diawetkan dengan cara didendeng. Dendeng Daging Rusa Bima tidak menggunakan bumbu yang bermacam-macam sebagai layaknya dendeng pada umumnya yang menggunakan ketumbar dan gula. Dendeng rusa Bima hanya menggunakan garam, jaman dulu mungkin orang Bima memang tidak mengenal macam-macam bumbu atau mungkin orang Bima mengutamakan rasa yang orisinil, sebuah citarasa. Ini juga patut disyukuri karena dengan jenis dendeng yang seperti ini daging rusa bisa diolah kembali menjadi berbagai macam masakan. Bukan hanya daging yang diawetkan/didendeng tapi juga tulang iga rusa juga diawetkan untuk selanjutnya menjadi bahan campuran sayur. Hm….aromanya…….beda! Saya tidak menulis pengolahan daging rusa segar karena daging rusa segar bisa dibuat bermacam-macam masakan seperti halnya daging kambing, sate. gulai atau semur. Saya ingin menghadirkan yang khas Bima saja. Pada saat ini semakin sulit mendapatkan Dendeng Rusa karena populasi Rusa Bima yang sudah jauh berkurang atau mungkin bisa dikatakan sebentar lagi akan punah! Uta Maju Puru (Daging Rusa Bakar) Bahan-bahan yang dibutuhkan Dendeng Maju, potong-potong sesuai selera Siapkan panggangan beserta arang buatlah bara/bisa juga langsung bakar di atas nyala kompor. Siapkan martil pemukul daging dan alasnya, bisa berupa talenan atau cobek Cara Membuatnya Bakar daging dendeng uta Maju di atas bara api, bolak balik sebentar, setelah harum angkat, taruh daging diatas cobek lalu memarkan dengan martil jangan sampai tercabik-cabik biarkan utuh, bakar lagi sebentar sampai diperkirakan matang. Bila dagingnya terlalu asin bisa dicuci dulu sebelum diolah, bila masih terasa terlalu asin juga cuci lagi setelah dimemarkan sebelum dibakar untuk kedua kalinya. Siap dihidangkan dengan sayur asam wua parongge. Uta Maju Ncango (Daging Rusa Goreng) Dendeng Maju, potong-potong sesuai selera Siapkan panggangan beserta arang buatlah bara/bisa juga langsung dibakar di atas nyala kompor Siapkan martil pemukul daging dan alasnya, bisa berupa talenan atau cobek 3 sendok makan minyak goreng Alat penggorengan Cara Membuatnya Bakar daging dendeng uta Maju di atas bara api, bolak balik sebentar, setelah harum angkat, taruh daging diatas cobek lalu memarkan dengan martil jangan sampai tercabik-cabik biarkan utuh. Panaskan minyak dengan api kecil, goreng daging sudah dimemarkan. Goreng hanya sebentar saja (seperti menggoreng ikan asin). Bila dagingnya terlalu asin ikuti petunjuk di atas; cuci setelah dimemarkan lalu digoreng. Uta Maju Ncango Sipa (Daging Rusa Abon) Bahan-bahan yang dibutuhkan 1/2kg dendeng Maju Siapkan panggangan beserta arang buatlah bara/bisa juga langsung bakar di atas nyala kompor Siapkan martil pemukul daging dan alasnya, bisa berupa talenan atau cobek 1/4kg bawang merah (Buatlah bawang goreng untuk tabur) 10 tangkai cabe keriting potong serong, bila suka pedas (goreng untuk tabur) Bumbu Perendam 1 gelas air asam jawa/bima dari 1 lembar asam matang ½ kepal gula jawa/gula merah (kurangi bila tidak suka manis) Garam sedikit (sesuaikan dengan keasinan dendeng) Penyedap rasa bila suka 1/4lt minyak untuk menggoreng Alat penggorengan Cara Membuatnya Bakar daging dendeng uta Maju di atas bara api, bolak balik sebentar, setelah harum angkat, taruh daging diatas cobek lalu memarkan dengan martil. Suwir-suwir daging tersebut dengan menggunakan tangan, jangan terlalu halus. Bumbu Perendam : Haluskan gula, campur dengan air asam serta garam dan penyedap rasa. Masukkan daging yang sudah dicabik ke dalam bumbu perendam diamkan 30 menit. Goreng di atas api sedang setelah matang angkat dan tiriskan. Campur denga bawang goreng dan cabe goreng. Cocok untuk disimpan dan untuk perjalanan jauh. Karena hanya daging kering yang diasinkan, uta Maju masih bisa dibuat bermacam-macam masakan, misalnya : Mpal goreng, dendeng balado atau bisa juga disayur atau masakan yang berkuah.
READ MORE - Uta Maju (Daging Rusa)

Uta Janga Puru (Ikan Ayam Bakar)

Posted by Farah PinkQueenzza 06.51, under | No comments

Uta Janga Puru (Ikan Ayam Bakar)

Bahan-bahan yang dibutuhkan
1 ekor ayam kapung yang sedang besarnya.
Alat pembakaran beserta arang

Bumbu yang dihaluskan
15 butir lada
4 siung bawang putih
3 butir bawang merah
½ sendok makan garam
1 sendok makan minyak goreng (campurkan pada bumbu yang dihaluskan)

Cara Membuatnya
Ayam dibersihkan, dibelah dada (bekakak), potong kakinya hingga 5 senti dibawah ruas paha.
Lumuri ayam dengan bumbu yang sudah dihaluskan diamkan selama 30 menit.
Sementara menuggu ayam didiamkan, buatlah bara diatas pemanggang.
Setelah siap, panggang ayam sambil di bolak balik agar tidak hangus.
Setelah matang siap dihidangkan panas-panas dengan sambal dhoco sia dungga (sambal bawang)
READ MORE - Uta Janga Puru (Ikan Ayam Bakar)

Uta Mbeca Ro'o Parongge (Sayur Daun Kelor)

Posted by Farah PinkQueenzza 06.50, under | No comments

Uta Mbeca Ro'o Parongge (Sayur Daun Kelor)

Bahan-bahan yang dibutuhkan:
* 3 ikat daun kelor (sebagai patokan: ikatan daun katuk)
* 1 genggam tauge pendek
* 1 ikat kangkung
* 5 butir bamea (Okra, jenis sayuran banyak terdapat di Timur Tengah dan Pakistan)
* 5 butir bawang merah (potong-potong)
* 1 batang tamu kunci (potong-potong)
* 2 liter air Bumbu-bumbu
* Garam secukupnya
* Gula secukupnya
* Penyedap rasa sedikit bila suka Cara Membuatnya
* Siangi daun kelor (rontokkan daunnya), kangkung dipotong sepanjang 2cm, bamea dipotong-potong sepanjang 1cm.
* Campur dan cuci semua bahan-bahan kecuali bamea dicuci tersendiri.
* Rebus dua liter air sampai mendidih, masukkan semua bahan kecuali okra yang dimakkan setelah beberapa menit untuk menghindari agar okra tidak terlalu berlendit.
* Masukkan garam dan gula secukupnya, masak terus sampai sayur matang.
* Angkat dan hidangkan dengan uta puru dan sambal dhocho mange.
READ MORE - Uta Mbeca Ro'o Parongge (Sayur Daun Kelor)

Mangge Mada (Gulai Jantung Pisang)

Posted by Farah PinkQueenzza 06.50, under | No comments

Mangge Mada (Gulai Jantung Pisang)

Bahan-bahan yang dibutuhkan:
 * 1 buah jantung pisang kepok
* 1 genggam kelapa parut (sangrai lalu dihaluskan)
* 1 gelas santan kental dari 1 kelapa
* 300gr udang (rebus tampa air, buang kulit dan kepalanya)
* 1 butir jeruk nipis (ambil airnya) Bumbu-bumbu (potong-potong sesuai selera)
* 5 buah cabe keriting
* 7 butir bawang merah
* 5 buah belimbing wuluh
* Garam secukupnya Cara Membuatnya
* Siangi jantung pisang (ambil bagian putihnya)
* Rebus sampai matang, angkat dan tiriskan, dipotong-potong lalu diperas (buang air getirnya)
* Campurkan dengan potongan cabe, bawang merah, belimbing dan kelapa gongseng serta garam.
* Masukkan santan dan air jeruk nipis,
* terakhir masukkan udang yang sudah direbus.
*Udang dapat digantikan dengan : Cumi atau Ikan Pari yang dipindang atau Cingur Sapi/Kulit yang dibakar terlebih dahulu
READ MORE - Mangge Mada (Gulai Jantung Pisang)

Tumi Sepi (Tumis Udang Rebon)

Posted by Farah PinkQueenzza 06.49, under | No comments

Tumi Sepi (Tumis Udang Rebon)
Sepi adalah makanan khas Bima yang terbuat dari udang rebon (anak udang yang sangat kecil yang di Bima disebut Sepi Bou). Udang rebon difermentasi dengan garam saja sehingga mengeluarkan aroma khas.
Bahan-bahan yang dibutuhkan:
*   2 sendok makan Sepi
*   1 ruas jari lengkuas
*   1 lembar sereh
*   2 genggam kemangi
*   1 sendok makan minyak goreng
*   100ml air Bumbu-bumbu (Semuanya diiris-iris)
*   10 butir bawang merah
*   5 siung bawang putih
*   1 buah tomat ukuran besar
*   7 buah belimbing sayur
*   5 buah cabe keriting
*   1-15 buah cabe rawit biarkan utuh
*   Garam secukupnya
*   Gula pasir ½ sendok teh Cara Membuatnya
*  Panaskan minyak, tumis semua bumbu yang sudah diiris masukkan daun sereh dan lengkuas setelah harum masukkan Sepi, garam secukupnya dan gula pasir, masukkan 100ml air,
*   aduk-aduk terus hingga matang.
*   Sebelum diangkat masukkan cabe rawit dan kemangi biarkan cabe rawit layu setelah itu angkat.
*   Siap dihidangkan dengan lalaban.
*   Cocok dihidangkan bersama sayur asam atau sayur bening.
    SEPI bisa juga dikonsumsi langung tanpa dimasak terlebih dahulu. Tambahkan cabe rawit (potong-potong) dan air jeruk purut, lebih sedap bila kulit jeruk purut diiris-iris dicampurkan dengan SEPI (sebelumnya jeruk purut dimemarkan dulu untuk membuang rasa getir). Atau juga bisa dicampurkan dengan mbohi dungga (sambal parado)
READ MORE - Tumi Sepi (Tumis Udang Rebon)

Hubungan Darah Bima-Bugis-Makassar

Posted by Farah PinkQueenzza 06.41, under | No comments


Hubungan Darah Bima-Bugis-Makassar

Arus modernisasi dan demokratisasi disegala bidang kehidupan telah mempengaruhi cara pandang dan cara berpikir seluruh element masyarakat. Hubungan keakrabatan antar etnis dan bahkan hubungan darah sekalipun terpisahkan oleh tembok modernisasi dan demokrasi hari ini. Hubungan keakrabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama kurun waktu 1625 – 1819 (194 tahun) pun terputus hingga hari ini. Hubungan kekeluargaan antara dua kesultanan besar dikawasan Timur Indonesia yaitu Kesultanan Gowa dan Kesultanan Bima terjalin sampai pada turunan yang ke- VII. Hubungan ini merupakan perkawinan silang antara Putra Mahkota Kesultanan Bima dan Putri Mahkota Kesultanan Gowa terjalin sampai turunan ke- VI. Sedangkan yang ke- VII adalah pernikahan Putri Mahkota Kesultanan Bima dan Putra Mahkota Kesultanan Gowa. Berikut urutan pernikahan dari silsilah kedua kerajaan ini :

  1. Sultan Abdul Kahir (Sultan Bima I) menikah dengan Daeng Sikontu, Putri Karaeng           Kasuarang, yang merupakan adik iparnya Sultan Alauddin pada tahun 1625. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke-II)
  2. Sultan Abil Khair (Sultan Bima ke- II) menikah dengan Karaeng Bonto Je'ne. Adalah adik kandung Sultan Hasanuddin, Gowa pada tanggal 13 April 1646. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) pada tahun 1651.
  3. Sultan Nuruddin (Sultan Bima ke-III) menikah dengan Daeng Ta Memang anaknya Raja Tallo pada tanggal 7 mei 1684. dari pernikahan tersebut melahirkan Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke-IV)
  4. Sultan Jamaluddin (Sultan Bima ke IV) menikah dengan Fatimah Karaeng Tanatana yang merupakan putri Karaeng Bessei pada tanggal 8 Agustus 1693. dari pernikan tersebut melahirkan Sultan Hasanuddin (sultan Bima ke- V).
  5. Sultan Hasanuddin (Sultan Bima ke- V) menikah dengan Karaeng Bissa Mpole anaknya Karaeng Parang Bone dengan Karaeng Bonto Mate'ne, pada tanggal 12 september 1704. dari pernikahan ini melahirkan Sultan Alaudin Muhammad Syah pada tahun 1707 (Sultan Bima ke- VI)
  6. Sultan Alaudin Muhammad Syah (Sultan Bima ke- VI) menikah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji putrinya sultan Gowa yaitu Sultan Sirajuddin pada tahun 1727. pernikahan ini melahirkan Kumala Bumi Pertiga dan Abdul Kadim yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- VII pada tahun 1747. ketika itu beliau baru berumur 13 tahun. Kumala Bumi Pertiga putrinya Sultan Alauddin Muhammad Syah dengan Karaeng Tana Sanga Mamonca Raji ini kemudian menikah dengan Abdul Kudus Putra Sultan Gowa pada tahun 1747. dan dari pernikahan ini melahirkan Amas Madina Batara Gowa ke-II. Sementara Sultan Abdul Kadim yang lahir pada tahun 1729 dari pernikahan dari pernikahannya melahirkan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Sultan Abdul Hamid (La Hami) dilahirkan pada tahun 1762 kemudian diangkat menjadi sultan Bima tahun 1773.
  7. Sultan Abdul Kadim (Sultan Bima ke- VII) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- mohon Maaf) melahirkan Sultan Abdul Hamid pada tahun 1762 dan Sultan Abdul Hamid diangkat menjadi Sultan Bima ke- VIII pada tahun 1773.
  8. Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- Mohon Maaf) melahirkan Sultan Ismail pada tahun 1795. ketika sultan Abdul Hamid meninggal dunia pada tahun 1819, pada tahun ini juga Sultan Ismail diangkat menjadi Sultan Bima ke- IX
  9. Sultan Ismail (Sultan Bima ke- IX) dari pernikahannya (Istrinya tidak terlacak oleh dalam referensi sejarah yang kami baca- Mohon Maaf) melahirkan sultan Abdullah pada tahun 1827
  10. Sultan Abdullah (Sultan Bima ke- X) menikah dengan Sitti Saleha Bumi Pertiga, putrinya Tureli Belo. Dari pernikahan ini abdul Aziz dan Sultan Ibrahim.
  11. Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) dari pernikahannya melahirkan Sultan Salahuddin yang kemudian diangkat menjadi Sultan Bima ke- XII pada tahun 1888 dan memimpin kesultanan hingga tahun 1917.
  12. Sultan Salahuddin (Sultan Bima ke- XII) sebagai Sultan Bima terakhir dari pernikahannya melahirkan Abdul Kahir II (Ama Ka'u Kahi) yang biasa dipanggil dengan Putra Kahi dan St Maryam Rahman (Ina Ka'u Mari). Putra Kahir ini kemudian Menikah dengan Putri dari Keturunan Raja Banten (Saudari Kandung Bapak Ekky Syachruddin) dan dari pernikahannya melahirkan Bapak Fery Zulkarnaen





Adalah sangat Ironi memang jika pada hari ini generasi baru dari kedua Kesultanan Besar ini kemudian tidak saling kenal satu sama lain. Bahkan pada zaman kerajaan, pertumbuhan dan perkembangan penduduk Gowa dan Bima merupakan Etnis yang tidak bisa dipisahkan dan bahkan masyarakat Gowa pada umumnya tidak bisa dipisahkan dengan Etnis Bima (Mbojo) sebagai salah satu Etnis terpenting dalam perkembangan kekuatan kerajaan Gowa. Dari catatan sejarah yang dapat dikumpulkan dan dianalisa, hubungan kekeluargaan antara kedua kesultanan tersebut berjalan sampai pada keturunan ke- IX dari masing-masing kesultanan, dan jika dihitung hal ini berjalan selama 194 tahun. Dari data yang berhasil dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa hubungan kesultanan Bima dan Gowa dengan pendekatan kekeluargaan (Darah) terjalin sampai pada tahun 1819. Analisa ini berawal dari pemikiran bahwa ada hubungan darah yang masih dekat antara Amas Madina Batara Gowa Ke- II anaknya Kumala Bumi Pertiga dengan Sultan Abdul Hamid (Sultan Bima ke- VIII). Karena keduanya masih merupakan saudara sepupu satu kali. Bahkan ada kemungkinan yang lebih lama lagi hubungan ini terjalin. Yaitu ketika Sultan Abdul Hamid meninggal pada tahun 1819 dan pada tahun itu juga langsung digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Sultan Ismail sebagai sultan Bima ke- IX. Karena Sultan Ismail ini kalau dilihat keturunannya masih merupakan kemenakan langsungnya Amas Madina Batara Gowa Ke- II, jadi hubungan ini ternyata berjalan kurang lebih 194 tahun.

Pada beberapa catatan yang kami temukan, bahwa pernikahan Salah satu Keturunan Sultan Ibrahim (Sultan Bima ke- XI) masih terjadi dengan keturunan Sultan Gowa. Sebab pada tahun 1900 (pada kepemimpinan Sultan Ibrahim), terjadi acara melamar oleh Kesultanan Bima ke Kesultanan Gowa. Mahar pada lamaran tersebut adalah Tanah Manggarai. Sebab Manggarai dikuasai oleh kesultanan Bima sejak abad 17. Namun, pada catatan sejarah tersebut tidak tercatat secara jelas.
(dari berbagai sumber)
READ MORE - Hubungan Darah Bima-Bugis-Makassar

Bima

Posted by Farah PinkQueenzza 06.33, under | No comments

Bima

Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. 


 

Kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu :
1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah

2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan

3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat

4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara

5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur.


Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut Profil Kabupaten Bima tahun 2008 2 kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu :

1. Darmawangsa

2. Sang Bima

3. Sang Arjuna

4. Sang Kula

5. Sang Dewa.


Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV.




 

Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah :
- Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara.
- Tahta Kerajaan yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis lurus keturunan raja.

Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara. Kebijaksanaan ini dilakukan Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana. Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh : 1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara. 2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan. 3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan 4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E.



Seiring dengan perjalanan waktu, Kabupaten Bima juga mengalami perkembangan kearah yang lebih maju. Dengan adanya kewenangan otonomi yang luas dan bertanggungjawab yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam bingkai otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang (UU) No. 22 tahun 1999 dan direvisi menjadi UU No. 33 tahun 2004, Kabuapten Bima telah memanfaatakan kewenangan itu dengan Profil Kabupaten Bima tahun 2008 3 terus menggali potensi-potensi daerah baik potensi sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mempercepat pertumbuhan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


Untuk memenuhi tuntutan dan meningkatkan pelayanan pada masyarakat, Kabupaten Bima telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah mulai tingkat dusun, desa, kecamatan, dan bahkan dimekarkan menjadi Kota Bima pada tahun 2001. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk memenuhi semakin meningkatkan tuntutan untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat yang terus berkembang dari tahun ke tahun tetapi juga karena adanya daya dukung wilayah. Sejarah telah mencatat bahwa Kabuapten Bima sebelum otonomi daerah hanya terdiri dari 10 kecamatan, kemudian setelah otonomi daerah kecamatan sebagai pusat ibukota Kabupaten Bima dimekarkan menjadi Kota Bima, dan Kabupaten Bima memekarkan beberapa wilayah kecamatannya menjadi 14 kecamatan dan pada tahun 2006 dimekarkan lagi menjadi 18 kecamatan dengan pusat ibukota kabupaten Bima yang baru dipusatkan di Kecamatan Woha. (Bappeda Kab. Bima)
READ MORE - Bima

Sejarah Bima

Posted by Farah PinkQueenzza 02.26, under | 1 comment

Mengulas Kembali Sejarah Bima Masa Lampau



foto istana bima tahun dulu, istana bima jaman dulu
Bima atau mbojo termasuk Daerah Tingkat II Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebelum bergabung dengan NKRI, Bima telah melewati perjalanan sejarah panjang yang bermula dari masa sebelum Islam. Sayangnya, karena keterbatasan sumber, hingga kini masih sulit untuk mengungkapkan serta memaparkan sejarahnya. Dalam konteks sejarah nasional, peran dinamika politik Bima jarang diungkap. Hal ini mungkin disebabkan oleh porsi partisipasi pergolakan kekuasaan di sana yang lebih bersifat lokal dan hanya meliputi wilayah regional. Selain itu, penulisan sejarah tentang Bima lebih banyak dilatarbelakangi oleh nasionalisme berlebihan sehingga tulisan-tulisan sejarah lokal tentang peran Bima dalam dinamika politik nasional terkesan dipaksakan. Dari sini, penulis berusaha membuat tulisan dengan landasan historis lokal sekaligus memaparkan karakteristik masyarakat Bima. Dengan ini, selain bisa mengetahui dinamika kekuasaan di Bima, pembaca juga bisa menilai bagaimana kondisi masyarakat Bima abad ke-17-18 M. Masyarakat Bima adalah masyarakat dengan kontruksi yang heterogen. Masyarakat Bima terdiri atas komposisi ras yang cukup beragam. Kapan dan bagaimana Bima bisa memiliki komposisi masyarakat yang demikian akan penulis paparkan secara historis dalam tulisan yang mengangkat judul ”Dinamika Sosial dan Politik Kesultanan Bima Abad ke-17 – 18 M” ini. Dalam tulisan ini juga akan diterangkan mengenai Bima pada masa kesultanan, atau menurut Bpk. Ari Sapto, M.Hum (Dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang) lebih tepat disebut Kerajaan Islam Bima, yang dalam sejarahnya banyak berperan dalam berbagai pergolakan di Nusantara bagian timur terutama pada masa awal pemerintahan Kerajaan Islam Bima sekitar abad ke-17 M. Ramainya jalur perdagangan dan pelayaran Nusantara pada masa awal kerajaan Islam tidak hanya diikuti oleh inkulturasi dan transfer budaya, tetapi juga memancing kepentingan politis VOC dalam hegemoni kekuasaan serta monopoli perdagangan di wilayah Bima. Dalam perkembangannya, ketika pemerintah Hindia Belanda mengambil alih wilayah kekuasaan VOC, Bima sebagai salah satu kerajaan di Pulau Sumbawa tidak luput dari penetrasi kekuasaan Belanda. Dari awal abad ke-17 sampai awal abad ke-19, Belanda sebagai kongsi dagang (VOC) maupun sebagai pemerintahan kerajaan terus melakukan usaha hegemoni kekuasaan di wilayah ini. Contoh usaha yang dilakukan, di antaranya politik adu domba serta membuat berbagai perjanjian yang pada akhirnya berhasil menguasai lingkungan istana secara utuh. Perjanjian-perjanjian tersebut berujung pada perjanjian yang dikenal dengan ”Conract Met Bima”. Perjanjian ini menunjukkan bahwa Kerajaan Bima benar-benar berada dalam wilayah hegemoni Hindia Belanda.

A. Bima pada Masa Awal Kesultanan
Sebelum memaparkan tentang masuk dan berkembangnya Islam di Bima, penulis akan membahas secara umum kondisi Bima sebelum era kesultanan. Tidak banyak sumber yang menggambarkan kondisi masyarakat Bima pada masa itu, akan tetapi beberapa tulisan lama tentang Kerajaan Bima menggambarkan masyarakat Bima sudah banyak yang menganut Islam bahkan sebelum Islam memasuki kancah politik dan pemerintahan. Bima sebelum masa kesultanan digambarkan sebagai daerah yang penduduknya beragama Hindu. Hal ini bisa dilihat dari temuan situs Wadu Pa’ayang terletak di Desa Sowa, Kecamatan Donggo, pesisir barat ujung utara Teluk Bima.
Ada beberapa pendapat mengenai proses masuknya Islam di Bima. Dalam buku Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara karangan M. Hilir Ismail , Islam tersebar di wilayah Lombok dan Sumbawa salah satunya dibawa oleh Sunan Prapen yang merupakan putra Sunan Giri pada 1540 – 1550 M. Arus islamisasi yang besar juga berasal dari para pedagang Sulawesi sekitar 1617 M, seperti yang disebutkan dalam BO (catatan lama Istana Bima). Kesultanan Bima dalam kancah politik Nusantara, pada abad ke-17, banyak mengalami berbagai pergolakan, baik di dalam tubuh Bima sendiri maupun di wilayah timur Nusantara. Hubungan bilateral Kesultanan Bima dengan Kerajaan Gowa terjalin dengan baik, selain karena persamaan ideologi kerajaan (Islam), juga karena adanya hubungan darah di antara pemegang kekuasaan kedua kerajaan.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Islam masuk ke wilayah pemerintahan Kesultanan Bima tidak terlepas dari pengaruh kerajaan-kerajaan di Makasar, khususnya Kerajaan Gowa. Di samping itu, perkawinan sultan pertama Bima, Sultan Abdul Kahir, yang disebut-sebut sebagai bentuk perkawinan politik yang merupakan intrik politik yang cukup populer pada abad itu, ikut memperkuat hubungan bilateral kedua kerajaan.

B. VOC dan Pemerintah Hindia Belanda dalam Dinamika Politik Kerajaan Islam Bima
Kontak pertama antara Bima dan orang-orang Belanda telah dimulai pada awal abad 17, ketika terjadi perjanjian lisan antara Raja Bima, Salasi, dan orang Belanda bernama Steven van Hegen pada 1605. Dalam sumber lokal, perjanjian ini disebut Sumpa Ncake. Isi perjanjian tersebut sampai sekarang belum diketahui. Namun, pada masa-masa berikutnya, hubungan dagang antara Bima dan VOC tampak terjalin dan berpusat di Batavia. Dalam catatan harian VOC atau Dah-register disebutkan bahwa VOC mengirim kapal-kapalnya ke Bima untuk membeli beras dan komoditas lainnya. Secara politis, hubungan Bima dan VOC mulai berlangsung dengan ditandatanganinya perjanjian pada 8 Desember 1669 dengan Admiral Speelman. Perjanjian itu merupakan kontrak pertama dengan VOC sebagai akibat keikutsertaan Sultan Bima, Abdul Khair Sirajudin, membantu Kerajaan Gowa memerangi Belanda. Karena kalah perang, Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda pada 1667, yang dikenal sebagai ”Perjanjian Bongaya”. Isi perjanjian itu antara lain memisahkan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa agar tidak saling berhubungan dan saling membantu. Pada perjanjian tahun 1669, Bima memberikan terobosan pada Kompeni untuk berdagang di Bima dan raja atau sultan tidak boleh meminta atau menarik cukai pelabuhan terhadap kapal dan barang-barang Kompeni yang keluar masuk pelabuhan.
Setiap terjadinya pergantian raja atau sultan, Kompeni akan membuat kontrak baru. Alasannya, selain untuk memperkuat kontrak-kontrak sebelumnya, juga untuk menjadikan Bima dan kerajaan-kerajaan lain di Pulau Sumbawa di bawah kekuasaan Kompeni secara perlahan-lahan. Selain itu, pertikaian di antara elit penguasa di Pulau Sumbawa, baik yang sengaja direkayasa oleh Kompeni atau bukan, pada dasarnya memberikan kesempatan bagi VOC untuk memperluas pengaruh serta kekuasaannya di wilayah itu. Untuk mewujudkan keinginannya, VOC mengadakan pendekatan melalui pembuatan kontrak atau perjanjian secara paksa. Sebagai contoh, pada 9 Februari 1765, VOC mengadakan perjanjian secara kolektif dengan kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa, yaitu Bima, Dompu, Tambora, Sanggar, Pekat, dan Sumbawa. Cornelis Sinkelaar (Gubernur VOC) sepakat dengan Abdul Kadim (Raja Bima), Datu Jerewe (Raja Sumbawa), Ahmad Alaudin Juhain (Raja Dompu), Abdul Said (Raja Tambora), Muhamad Ja Hoatang (Raja Sanggar), dan Abdul Rachman (Raja Pekat) untuk bersama-sama dengan VOC memelihara ketenteraman, bersahabat baik, dan mengadakan persekutuan dengan VOC. Dalam pasal 1 kontrak tersebut dinyatakan bahwa raja-raja di Pulau Sumbawa, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri, berjanji akan terus mematuhi kontrak yang pernah dibuat sebelumnya. Demikian pula prosedur-prosedur dalam perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan VOC, masih berlaku dan akan terus dipatuhi. Pada 1675, VOC diizinkan untuk mendirikan posnya di Bima. Perjanjian itu diperbarui lagi pada 1701 dan sejak itu secara resmi VOC hadir di Bima.
Pada awalnya, ditempatkan seseorang dengan jabatan koopman atau onderkopman, kemudian seorang residen, dan akhirnya seorang komandan. Pada 1708, J. Happon ditunjuk sebagai residen yang pertama. Pada 1771, jabatan residen digantikan oleh jabatan komandan sampai 1801. Dalam kontrak disebutkan pula bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan abadi yang didasarkan pada ketulusan, kepercayaan, dan kejujuran. Sebagai konsekuensi dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa tidak boleh (dilarang) mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah lain, dengan bangsa Eropa lain, atau dengan seseorang kecuali atas persetujuan dan izin VOC. Meski demikian, penempatan residen Belanda di Bima pun harus dengan persetujuan Kerajaan Bima dan sepengetahuan Gubernur dan Dewan Hindia di Makassar. Akibat lain dari perjanjian ini adalah semua hubungan dengan orang-orang Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC, orang-orang Makassar merupakan para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dan Makassar yang telah berjalan lama. Pada 1695, orang-orang Makassar melakukan pelarian dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Bahkan, perpindahan orang-orang Makassar itu telah berlangsung sejak 1669, setelah Kerajaan Gowa ditaklukkan VOC dan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya pada 1667. Pada 1701, orang-orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai. Namun, ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak dapat diputus dengan cara-cara kekerasan seperti itu karena hubungan Bima-Makassar tidak semata-mata bersifat politik dan ekonomi (dagang), tapi juga hubungan perkawinan antara elit penguasa Bima dan putri bangsawan Gowa.
Pada 1759, sebagai dampak dari kontrak yang dilakukan raja-raja di Pulau Sumbawa, orang-orang Makassar menyerang Manggarai dan menduduki daerah itu. Namun, mereka tidak dapat bertahan lama karena pada 1762, dengan bantuan VOC, Bima dapat menguasai kembali daerah Manggarai. Usaha yang dilakukan oleh Gowa untuk menguasai Manggarai tetap dilakukan, misalnya pada 1822 dengan jalan menarik pajak, namun belum berhasil. Dengan berbagai perjanjian yang terus diperbarui dari zaman VOC hingga ke Hindia Belanda, perlahan-lahan Kesultanan Bima secara politis kehilangan kekuasaan. Perjanjian yang merupakan titik puncak hegemoni Belanda atas Kesultanan Bima adalah perjanjian yang dilakukan oleh Sultan Ibrahim pada 6 Februari 1908 yang disebut “Contract Met Bima”. Perjanjian tersebut antara lain berisi:

1. Sultan Bima mengakui Kerajaan Bima merupakan bagian dari Hindia Belanda dan bendera Belanda harus dikibarkan.
2. Sultan Bima berjanji senantiasa tidak melakukan kerja sama dengan bangsa kulit putih lain.
3. Apabila Gubernur Jenderal Hindia Belanda menghadapi perang, maka Sultan Bima harus mau mengirim bala bantuan.
4. Sultan Bima tidak akan menyerahkan wilayah Kesultanan Bima kepada bangsa lain kecuali Belanda.


Walau pada perkembangannya perjanjian ini menyulut perlawanan dari rakyat Bima, tetap saja Kesultanan Bima pada masa itu berada dalam posisi yang lemah. Hal itu bisa dilihat dari perlawanan rakyat yang dapat dipatahkan oleh Belanda secara bertahap dan Sultan Ibrahim tidak punya kekuatan yang cukup untuk melakukan perlawanan secara terang-terangan.
READ MORE - Sejarah Bima